MAKALAH
POSISI AKAL DAN NAFSU DALAM ISLAM
SERTA KEDUDUKANNYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU: Drs. H. IDRIS, M.Pd.I
OLEH
NAMA NIM
1.
ANDARI
FILNA JESIKA 160103068
2.
WAHYU
EFENDI 160103082
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN TADRIS MATEMATIKA
UIN MATARAM
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ Posisi Akal dan Nafsu Dalam Islam Serta
Kedudukannya Dalam Pendidikan Islam ”, yang mana makalah ini diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi.
Adapun yang kami bahas dalam makalah ini
yaitu tafsiran surah – surah Al-Qur’an tentang posisi akal dan nafsu dalam
islam yang terdiri dari Surah Al-Kahfi ayat 28 , Surah Ali Imran ayat 190-191
dan Surah Shad ayat 26 , selain itu makalah ini juga membahas tentang kedudukan
akal dan nafsu dalam pendidikan islam.
Kami menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangannya, hal ini disebabkan
keterbatasan pengetahuan, waktu, serta sumber yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan penyusunan selanjutnya
.
.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Mataram, 11 April 2017
DAFTAR
ISI
Ø KATA
PENGANTAR.………………………………………………................................................1
Ø DAFTAR
ISI….…………………………………………………………….....................................2
Ø BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah.……………….………………………………….......3
1.2 Rumusan
Masalah………………………………………………………...…...3
1.3 Tujuan
Pembelajaran ……………………………………………………….…4
Ø BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Surah Al-Kahfi Ayat 28 ………………..………….……………………….…5
2.2 Surah Ali Imran Ayat 190-191……………………………..……………...….7
2.3 Surah Shad Ayat 26 ………………………………..……….………………...10
2.4 Kedudukan Akal dan Nafsu Dalam
Pendidikan Islam…………..……….…..11
Ø BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………..13
3.2 Saran ………………………………………………………………...….…....13
Ø DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam siklus sebuah penciptaan, Allah
SWT telah meninggikan derajat mahluk yang bernama manusia. Beragam ilmu dan
pengetahuan telah Dia benamkan dalam akal manusia. Akal, inilah perantara Tuhan
untuk membenamkan ilmu dan pengetahuan, yang nantinya akan dipergunakan sebagai
alat bertahan hidup dimuka bumi, yang memang manusia dipersiapkan untuk menjadi
khalifahnya, pemimpinnya. Dengan akal, dan ilmu pengetahuan yang terbenam
didalamnya manusia mampu melakukan improvisasi dalam rangka menjalankan
perannya sebagai pemimpin dimuka bumi. Terlebih, ada banyak kejadian dialam
semesta, atau ayat-ayat Kauniyah, yang Alloh berikan sehingga manusia dapat
belajar dengan akalnya.
Nafsu sebagai salah
satu sifat yang Alloh berikan kepada manusia, selalu digunakan oleh Iblis,
Setan dan kawan-kawannya, untuk memperdaya manusia. Yang seringkali membuat
keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia didominasi oleh nafsu yg dikuasai
setan. Keputusan yang di provokatori oleh setan itu cenderung melalaikan
hakikat khalifah dimuka bumi, melalaikan sebuah siklus “kehidupan” dikampung
akhirat, melalaikan dari pengharapan ridho Illahi dalam setiap penjalanan
aktifitas.
Kemudian Alloh
mengutus Nabi dan Rasul, yang bersamanya dititipkan Firman-firman Tuhan,
ayat-ayat Illahiah, aturan main bagi manusia, pedoman dasar bagi manusia dalam
menjalani perannya sebagai khalifah. Sebuah aturan main yang menjelaskan
hal-hal yg harus dilakukan, dan juga hal-hal yang harus dihindari, tidak boleh
disentuh sama sekali. Disini juga dijelaskan bagimana Iblis, setan dkk menjadi
musuh manusia yang paling utama. Serta diajarkan juga bagaimana caranya
mengekang hawa nafsu, dan mengoptimalkan kerja akal.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di
atas, dapat dirumuskan masalah sebagia berikut :
1. Apa
penafsiran yang terkandung dalam Surat Al-Kahfi Ayat 18-28 ?
2. Apa
penafsiran yang terkandung dalam Surat Ali Imran Ayat 190 – 191 ?
3. Apa
penafsiran yang terkandung dalam Surat Shad Ayat 26 ?
4. Bagaimana
kedudukan akal dan nafsu dalam pendidikan islam ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui penafsiran yang terkandung
dalam Surat Ali Imran Ayat 190 – 191
2.
Untuk
mengetahui penafsiran yang terkandung dalam Surat Shad Ayat 26
3.
Untuk
mengetahui penafsiran yang terkandung dalam Surat Al-Kahfi Ayat 18-28
4.
Untuk mengetahui kedudukan akal dan nafsu dalam
pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Surah
Al-Kahfi Ayat 28
Artinya
:
“
Dan bersabarlah bersama dengan orang –
orang yang menyeru Tuhannya di waktu pagi dan senja dengan mengharap keridhaan-Nya;
dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia, dan janganlah engkau mengikuti siapa yang telah Kami lalaikan
hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaanya telah
melampaui batas.”
Salah satu alasan pemuka-pemuka kaum
musyrikin untuk tidak hadir mendengar wahyu dan tuntunan-tuntunan yang
disampaikan nabi Muhammad SAW adalah keengganan mereka duduk berdampingan
dengan fakir miskin kaum muslimin.karena itu nasihat ayat yang lalu dilanjutkan
dengan firman-Nya: “ Wahai Muhammad peliharalah persahabatan dan persaudaraanmu
dengan umatmu semua,termasuk fakir miskin dan
bersabarlah melaksanakan tuntunan wahyu bersama
dengan orang-orang yang beriman kepada Allah yang selalu menyeru Tuhannya,
didorong oleh ketaatan dan kesyukuran kepada-Nya diwaktu pagi dan senja, yakni sepanjang waktu dengan mengharap keridhaan-Nya walaupun mereka miskin tidak
memiliki sesuatu; dan janganlah kedua
matamu berpaling dari mereka, lalu mengarah kepada orang-orang kafir karena
kekayaan atau kedudukan social mereka dengan mengharapkan perhiasan kehidupan dunia, serta kenikmatan dan
kenyamannya, karena apa yang mereka miliki itu hanyalah kenikmatan sementara
yang segera barakhir dengan kesengsaraan, dan
janganlah juga engkau mengikuti siapa
pun yang telah kami lalaikan hatinya dari
mengingat Kami, karena kebejatan diri dan keengganannya mengikuti tuntunan
sehingga ia lupa dan lengah lagi selalu tertarik kepada kehidupan duniawi, serta mengikuti hawa nafsunya ,dan adalah keadaanya itu benar-benar telah melampaui batas.”
Kata (وَجْهَهُۥ ) wajhahu/wajah-Nya menjadi bahan pembicaraan para teolog. Dapat dipastikan
bahwa yang dimaksud dengan wajah disini bukanlah wajah sebagaimana wajah makhluk,
karena Allah tidak seperti siapapun. Buat makhluk, wajah adalah bagian yang
paling menonjol dari sisi luarnya serta paling jelas menggambarkan identitasnya.
Dari disini dapat dimengerti pendapat sementara ulama’ yang memahami kata wajah
yang digunakan bagi Allah dalam arti sifat-sifat-Nya yang tercakup dalam
Al-Asma’al-Husna, karena nama-nama itu menjelaskan sifat-sifat Allah dan dengan
dengannya dapat terungkap sedikit lagi sesuai,dengan kemampuan manusia,siapa
tuhan yang maha Esa itu.
Seseorang yang menghadap Allah
dengan menyeru salah satu nama-Nya –katakanlah menyeru Ar-Rahman,maka ia pada hakikatnya memohon kiranya sebagian dari
rahmat kasih sayang-Nya tercurah kepadanya. Demikianlah sehingga dengan
menyebut nama-Nya itu si pemohon mengharapkan wajah-Nya, yang dalam hal ini
adalah percikan dari rahmatnya yang merupakan salah satu dari sifat-sifat-Nya yang
Maha Sempurna dan indah itu. Begitu juga dengan menyeru sifat-sifat-Nya yang
lain, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata, siapa yang mengharapkan
wajah-Nya maka ia mengharap curahan dari sifat-sifat-Nya yang indah itu, dengan
jalan ia menempatkan diri pada posisi yang menjadikan ia dapat memperoleh
anugerah.dapat juga dikatakan bahwa mengharap wajah-Nya berarti mengharap
ridha-Nya,karena seseorang yang diredhai tidak akan dibelakangi,tetapi akan
dilihat dengan penuh kasih sayang dan ini menuntut terarahnya wajah kepada yang
disukai atau yang diredhai itu.
Kalimat (وَٱلْعَشِىِّ بِٱلْغَدَوٰةِ ) bi
al-ghadati wa al-‘asyiyi dapat juga dipahami dalam arti hakikinya, yaitu pagi dan petang dan demikian ayat
ini mengisyaratkan betapa penting dan baiknya berzikir mengingat Allah diwaktu
pagi dan petang.
Kata ( تَعْدُ
) ta’du
terambil dari kata ‘ada-ya’du yang
pada mulanya berarti melampaui dan
meninggalkan. Atas dasar ini banyak ulama’ memahami ayat diatas dalam arti
“ Jangan sampai matamu meninggalkan mereka atau
melampauinya sehingga tidak melihat mereka.”Az-Zamakahasyari, pakar tafsir
dan bahasa Al-Qur’an, memahami kata tersebut dalam arti berpaling, karena itu
tulisnya, kata tersebut diikuti oleh kata ‘anhum.
Firman-Nya: ( ﻗﻟﺑﻪ أَغْفَلْنَا مَنْ ) man aghpalna qalbahu/siapa yang telah Kami lalaikan hatinya tidak
dapat dijadikan alasan untuk mendukung paham fatalisme yang menyatakan bahwa manusia
tidak memiliki peranan menyangkut kegiatannya.
Kata ( فُرُطًا ) furuthan
terambil dari kata furth, yakni penganiayaan atau pelampauan batas. Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti bercerai-cerai, seperti sekumpulan
anggur yang berjatuhan dan bercerai-cerai dari tangkainya. Penambahan kata kana pada penggalan ayat ini mengandung
makna kemantapan pelampauan batas
atau perceraiberaian itu.
Firman Allah SWT diatas walaupun
secara redaksional ditunjukkan kepada Rasulullah Muhammad SAW tetapi ia lebih
banyak dimaksudkan untuk umatnya, karena jelas bahwa Rasulullah SAW. tidak
menginginkan kesenangan hidup dan keindahan-keindahan duniawi. Dengan kata
lain, larangan diatas mengandung pesan agar manusia lebih berhati-hati terhadap
godaan dunia dan rayuan nafsu.
Ayat ini sama sekali tidak dapat
dipahami bahwa Islam menolak perhiasan duniawi dan menghalangi umatnya untuk
menikmati kelezatannya.Tidak! Ia hanya mengingatkan agar jangan sampai hal
tersebut melalaikan. Peringatan ini perlu ,karena daya tarik bumi amat
kuat.jika demikian, silahkan menikmatinya, akan tatapi itu harus disertai
dengan mengingat Allah seta mensyukuri nikmat-Nya.
2.2 Surah
Ali Imran 190-191
·
Penafsiran
Ayat 190
Artinya :
“
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.”
Sebagaimana terbaca pada ayat 189
yang menegaskan kepemilikan Allah swt atas alam raya, maka disini Allah
menguraikan sekelumit dari penciptaan-Nya itu serta memerintahkan agar
memikirkannya, apalagi seperti dikemukakan pada awal uraian surah ini bahwa
tujuan utama surah Ali-Imran adalah pembuktian tentang tauhid, keesaan, dan
kekuasaan Allah swt. Hukum-hukum alam yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan pada
hakikatnya ditetapkan dan diatur oleh Allah yang Maha Hidup lagi Qayyum (Maha
Menguasai dan Maha Mengelola segala sesuatu). Hakikat tersebut kembali
ditegaskan pada ayat ini dan ayat mendatang. Salah satu bukti kebenaran
tersebut adalah undangan kepada manusia untuk berfikir, karena sesungguhya dalam penciptaan, yakni
kejadian benda-benda angkasa seperti matahari,bulan,dan jutaan gugusan
bintang-bintang yang terdapat di langit,
atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat teliti serta kejadian dan
perputuran bumi pada prosesnya yang melahirkan silih bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik dalam masa
maupun panjang dan pendekkya terdapat
tanda-tanda kemahakuasaan Allah bagi
ulul albab yakni orang-orang yang
memiliki akal atau berakal. Ulul Albab adalah orang –orang yang memiliki
akal yang tidak kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Orang
yang merenungkan tentang fenomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang
sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah.
·
Penafsiran
Ayat 191
Artinya
:
“
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi: "Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Ayat ini dan ayat selanjutnya
menjelaskan sebagian dari ciri-ciri- orang yang dinamai Ulul Albab yang telah
dijelaskan pada ayat-ayat lalu. Mereka adalah orang-orang, baik laki-laki maupun perempuan yang terus-menerus mengingat Allah dengan ucapan dan atau
hati, dan dalam seluruh situasi dan kondisi, saat bekerja atau istirahat, sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring atau bagaimanapun ,dan
mereka memikirkan tentang penciptaan yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, dan setelah itu berkata
sebagai kesimpulan: Tuhan kami,tiadalah Engkau menciptakan alam raya dan segala
isinya ini dengan sis-sia tanpa tujuan yang hak. Apa yang kami alami, lihat, atau
dengar dari keburukan atau kekurangan, Maha Suci Engkau dari semua itu. Itu
adalah ulah atau dosa dan kekurangan kami yang dapat menjerumuskan kami kedalam
siksa neraka,maka peliharalah kami dari siksa neraka. Terlihat bahwa objek
zikir adalah Allah , sedang objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa
fenomena alam. Ini berarti bahwa pengenalan kepada Allah lebih banyak dilakukan
oleh kalbu, sedangkan pengenalan alam raya didasarkan pada pengenalan akal,
yakni berfikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan
fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan zat Allah. Hal
ini dipahami dari sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
melalui Ibn Abbas : “ Berfikirlah tentang makhluk Allah dan janganlan berfikir
tentang Allah.”
Diatas telah dijelaskan makna
firman-Nya (رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ
هَٰذَا بَٰطِلًۭ) rabbana ma khalaqta
hadza bathilan yang artinya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, bahwa ia adalah
sebagai natijah dan kesimpulan upaya zikir dan pikir. Bisa juga dipahami zikir
dan pikir itu mereka melakukan sambil membayangkan dalam benak mereka bahwa
alam raya tidak diciptakan Allah dengan sia-sia. Panggalan ayat tersebut
dipahami juga sebagai bagian dari ucapan mereka yang dilanjutkan dengan ucapan:
Sesungguhnya siapa yang Engkau masukan
kedalam neraka…dan seterusnya, sehingga berarti, bahwa mereka berzikir dan
berfikir seraya berkata, Tuhan
kami,tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Memang pendapat ini
dapat dibantah dengan menyatakan: “Bukankan Ulul Albab itu banyak,sehingga
bagaimana mungkin mereka sepakat mengucapkan kata-kata itu?”keberatan ini
ditampik oleh pendukung pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ucapan itu
mereka tiru atau diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Penulis memahami kalimat tersebut
sebagai hasi zikir dan fikir dengan demikian ia tidak dapat dihadang oleh
keberatan tersebut. Ayat didatas mendahulukan zikir atas fikir,karena dengan
zikir mengingat Allah dan menyebut nama-nama dan keagungan-Nya,hati akan
menjadi tenang.Dengan ketenangan,pikiran akan menjadi cerah bahkan siap untuk
memperoleh limpahan ilham dan bimbingan ilahi.Ayat diatas juga menunjukkan
bahwa semakin banyak hasil yang diperoleh dari zikir dan fikir dan semakin luas
pengetahuan tentang alam raya akan semakin dalam pula rasa takut kepada-Nya.
2.3 Surah Shad Ayat 26
Artinya
:
“
Wahai Daud, sesungguhnya Kami telah
menjadikanmu khalifah di bumi, maka putuskanlah di antara manusia dengan adil
dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang – orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapatkan siksa yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
”
Allah
berfirman : Hai Daud sesungguhnya Kami
telah menjadikanmu khalifah yakni penguasa di muka bumi, yaitu di
Bait al-Maqdis, maka putuskanlah semua persoalan yang engkau hadapi diantara manusia dengan adil dan janganlah
engkau mengikuti hawa nafsu antara lain dengan tergesa-gesa menjatuhkan
putusan sebelum mendengar semua pihak yang perkara tentang kambing itu, karena jika engkau mengikuti nafsu, apapun
dan yang bersumber dari siapapun, baik dirimu maupun mengikuti nafsu orang lain
maka ia yakni nafsu itu akan menyesatkan mu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang terus menerus hingga tiba ajalnya sesat dari jalan Allah,akan mendapat siksa yang berat akibat kesesatan mereka itu, sedang
kesesatan itu sendiri adalah karena
mereka melupakan hari perhitungan.
Kata
khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa
yang datang sebelumnya. Pada masa Daud as. terjadi peperangan antara dua
penguasa besar Thalut dan Jalut. Daud as. adalah salah seorang anggota pasukan
Thalut. Kepandaiannya menggunakan ketapel mengantarnya berhasil membunuh Jalut,
dan setelah keberhasilannya itu serta setelah meninggalnya Thalut, Allah
mengangkatnya sebagai khalifah menggantikan Thalut. Dari ayat-ayat diatas
dipahami juga bahwa kekhalifahan mengandung tiga unsur pokok yaitu: Pertama,manusia yakni sang khalifah; kedua,wilayah yaitu yang ditunjuk oleh
ayat diatas dengan al-ardh; dan ketiga adalah hubungan antara kedua
unsure tersebut.
Pada ayat
diatas juga dengan tegas Allah mengingatkan nabi Daud sebagai khalifah
(pemimpin) agar memimpin rakyatnya dan memutuskan berbagai perkara dengan
seadil-adilnya,
yaitu sikap yang tidak membeda-membedakan antara satu kelompok dengan kelompok
yang lainnya. Selanjutnya Daud diingatkan pula agar tidak memperturutkan hawa
nafsu, karena dapat menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak sejalan
dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan tersebut akan merugikan dirinya,
masyarakat sekitarnya bahkan pelakunya akan menerima azab dari Allah SWT. Maka
jelaslah bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mendahulukan
kebenaran yang diputuskan akalnya, bukan yang gemar mengikuti atau
mempertaruhkan hawa nafsunya dalam setiap perbuatan dan tindakannya.
2.4 Kedudukan
Akal dan Nafsu dalam Pendidikan Islam
Pemakaian akal dalam Islam
diperintahkan oleh Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an itu sendiri baru dapat dipahami,
dihayati dan diprektikkan oleh orang-orang yang berakal. Selanjutnya pemahaman
terhadap fungsi akal yang terdapat dalam diri manusia harus dijadikan tolak
ukur dalam merumuskan tujuan dan mata pelajaran yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan. Pemahaman yang keliru terhadap akal
sebagai mana yang pernah terjadi dalam sejarah dapat menyebabkan terjadinya
kekeliruan pula dalam merumuskan tujuan dan materi pendidikan. Dengan demikian,
pemahaman yang tepat terhadap fungsi dan peran akal ini amat penting dilakukan
dan dijadikan pertimbangan dalam merumuskan masalah-masalah pendidikan,
misalnya pada tujuan pendidikan dan kurikulum pendidikan.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus
mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dalam
mengembangkan potensi akal pikiran sehingga ia terampil dalam memecahkan
masalah, diisi dalam berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Pendidikan harus mengarahkan dan mengingatkan manusia agar tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang merangsang dorongan hawa nafsu. Seperti
berpakaian yang tidak menutup aurat, berjudi, minuman keras, narkoba, pergaulan
bebas dan sebagainya. Materi pendidikan
yang dapat meredam gejolak hawa nafsu itu adalah penerapan akhlak dan budi
pekerti yang mulia dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, orang yang terbina akalnya dan telah
terkendali hawa nafsunya dengan pendidikan, maka ia akan menjadi orang yang
bermental tangguh, tawakal, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian
kehidupan. Indikasinya, orang tersebut akan memiliki jiwa yang tenang, tidak lekas
berputus asa karena dengan akal dan pikirannya ia menemukan berbagai rahasia
dan hikmah yang ada dibalik ujian dan kesulitan yang dihadapi. Baginya
kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang membuat dirinya lari
dari Allah SWT, melainkan harus dihadapi dengan tenang dan mengubahnya menjadi
peluang rahmat dan kemenangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas
bahwa kajian terhadap akal dan hawa nafsu secara utuh, komprehensif dan benar
merupakan masukan yang amat penting bagi perumusan konsep pendidikan dalam
Islam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas yang
dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang selalu mengingat Allah dan
selalu memikirkan ciptaan Allah. Akal adalah menunjukkan bahwa adanya potensi yang
dimiliki oleh akal itu sendiri, yaitu selain berfungsi sebagai alat untuk
mengingat, memahami, mengerti, juga menahan, mengikat dan mengendalikan hawa
nafsu. Melalui proses memahami dan mengerti secara mendalam terhadap segala
ciptaan Allah, manusia selain akan menemukan berbagai temuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, juga akan membawa dirinya dekat dengan Allah. Dan
melalui proses menahan, mengikat dan mengendalikan hawa nafsunya membawa
manusia selalu berada di jalan yang benar, jauh dari kesesatan dan kebinasaan.
Nafsu juga termasuk salah satu
potensi rohaniah yang berupa rayuan atau godaan yang terdapat dalam diri
manusia yang cenderung kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan,
menyengsarakan, dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya. Untuk itu,
manusia lebih berhati-hati terhadap godaan dunia dan rayuan nafsu.
Implikasi tentang posisi akal dan nafsu
terhadap bidang pendidikan adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan
dan mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan
berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar.
Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata
pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan
pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan.
3.2
Saran
Kita sebaga makhluk ciptaan Allah yang diberikan atau
dikaruniai akal dan nafsu sudah sepatutnya menggunakan akal yang diberikan oleh
Allah dengan sebaik-baiknya dan begitu juga nafsu, kita harus bisa menahan hawa
nafsu kita yang dapat menjadikan kita orang yang sesat di jalan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M.Quraish . 2002 . Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an .
Jakarta : Lentera Hati.
Abuddin Nata . 2009 . Tafsir Ayat-ayat
Pendidikan . Jakarta : Rajawali
Pers.
0 komentar:
Posting Komentar