MAKALAH
( KRITERIA , ASUMSI DASAR DAN
ANATOMI ILMU )
DOSEN PENGAMPU: Dr.
SYAMSUL ARIFIN, M.A
DISUSUN OLEH :
NAMA NIM
1.
NIRTA
SAM SINAR T. 160103067
2.
ANDARI
FILNA JESIKA 160103068
3.
NUR’AINI 160103069
KELAS : 1.C
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN TADRIS MATEMATIKA
IAIN MATARAM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “ Kriteria , Asumsi Dasar dan Anatomi Ilmu ”, yang mana makalah ini diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat.
Adapun yang kami
bahas dalam makalah ini yaitu kriteria ilmu , asumsi dasar ilmu , anatomi/
komponen ilmu dan macam-macam ilmu.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan-kekurangannya, hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan, waktu,
serta sumber yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran
yang sifatnya membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan penyusunan
selanjutnya.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya.
Mataram, 21 September 2016
DAFTAR
ISI
Ø COVER.................................................................................................................................i
Ø KATA PENGANTAR.………………………………………………................................ii
Ø DAFTAR ISI….……………………………………………………………......................iii
Ø BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Materi …………………………………................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah…………………………………........................................... 2
1.3 Tujuan
Pembelajaran …………………………………….............................. …2
Ø BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Kriteria-kriteria Ilmu………………………....................................................... 3
2.2 Asumsi Dasar Ilmu…………..…………………............................................... .3
2.3 Anatomi/Komponen Ilmu……………………................................................... 6
2.4 Macam-macam Ilmu ………………………………………............................... 9
Ø BAB
III PENUTUP
3.1
Kesimpulan ………………………………….................................................. 11
Ø DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakag Masalah
Ilmu
pengetahuan (science) merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna
ganda, yaitu mengandung lebih dari pada ustu arti. Orang awam
tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan
pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang
perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa
itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat
ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas
hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan
diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan
terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif.
Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan)
yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi
dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan secara interdisipliner.
Perintisan
“Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena
peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai
abad 4 sebelum Masehi.Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran
dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional.
Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian
misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi
pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah
pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos
dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia
dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional,
dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain,
dunia dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau
akal sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah,
tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode
ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia
adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum
Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan
dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut
Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki substansi-substansi.
Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri.
Sebelum kita memahami ilmu pengetahuan lebih luas, maka dalam makalah ini lebih
difokuskan pada pembahasan Dasar dan komponen ilmu
1.2 Rumusan Masalah
Agar pembahasan kita berjalan secara sistematis,
maka kami selaku tim penyusun membuatkan rumusan dan batasan masalah dalam
makalah filsafat ilmu ini, berikut adalah rumusanya :
Seperti
definisikan nominalis realis filsafat ilmu itu ?
Apa
saja pengrtian dari filsafat ilmu itu?
Apa saja ciri criteria ilmu pengetahuan ?
Seperti
apa objek asumsi dasar ilmu?
1.3 Tujuan Penulisan
Tiada pengharapan yang lebih dari kami selaku tim
penyusun dalam tujuan penulisan makalah ini, tetapi setidaknya kami memiliki
tujuan yang konkrit dari penyusunan makalah ini, tujuan di harapkan di
antaranya ;
Pengrtian
dari ilmu filsafat, ciri-ciri criteria ilmu pengetahuan, objek asumsi dasar
ilmu, pembagian anatomi menurut teori,dan macam-macam ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kriteria-kriteria
Ilmu
Senada dengan Popper, A.G.M. van
Melsen, mengemukakan delapan ciri ilmu pengetahuan. Kedelapan ciri tersebut
adalah (van Melsen, 1985: 65-67):
1.
Secara metodis ilmu pengetahuan harus
mencapai pemahaman yang koheren. Hal ini menunjukkan adanya sistem kerja
(metode) yang logis.
2. Ilmu
harus dihadirkan tanpa pamrih karena terkait dengan tanggungjawab ilmuan.
3. Ilmu
harus bersifat universal, kendati simpulan-simpulan tentatifnya hanya dapat
diimplementasi secara parsial.
4. Setiap
ilmu harus dibimbing oleh obyek tertentu (termasuk manusia).
5. Ilmu
harus dapat diuji ataupun diverifikasi oleh setiap peneliti ilmiah yang terkait
dengan core keilmuan dimaksud dan karena itu ilmu harus bersifat intersubyektif
atau harus dapat dikomunikasikan.
6. Suatu
jawaban ilmiah harus pula mengundang jawaban dan penemuan baru sehingga harus
selalu siap untuk menerima persoalan yang makin kompleks. Hanya karena itulah
ilmu menjadi lebih dinamis, progresif (berkembang), dan selalu berubah.
7. Setiap
teori yang mendukung suatu keilmuan harus terbuka untuk dikritik berdasarkan
temuan-temuan baru.
8. Ilmu
harus dapat diimplementasikan sebagai wujud hubungan timbal balik antara teori
dan praktek.
2.2 Asumsi
Dasar Ilmu
Menurut Burhanudin (1997:86-88), Ilmu mempunyai tiga
asumsi mengenai objek empiris :
1)
Menganggap objek- objek tertentu
mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam bentuk, struktur, sifat,
dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek
yang serupa ke alam satu golongan.Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan
yang pertama terhadap objek- objek yang ditelaahnya dan taksonomi merupakan
cabang keilmuan yang mula- mula sekali berkembang.Konsep ilmu yang lebih lanjut
seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan
dengan adanya taksonomi yuang baik.Lineaus (1707- 1778) merupakan pelopor dalam
penggolongan hewan dan tumbuh- tumbuhan secara sistematis.Dengan adanya
klasifikasi ini, sehingga kita menganggap bahwa individu- individu dalam suatu
kelas tertentu memiliki ciri- ciri yang serupa, maka ilmu tidak berbicara
mengenai kasus individu.Melainkan suatu kelas tertentu.Istilah manusia
umpamanya memberikan pengertian tentang suatu kelas yang anggotanya memiliki
ciri- ciri tertentu yang serupa.
2)
Anggapan bahwa suatu benda tidak
mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan
mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu.Kegiatan ini
jelas tidak dapat dilakukan bila objek selalu berubah- ubah tiap waktu.
Walaupun begitu kita tidak dapat menuntut adanya kelestarian yang absolut,
sebab dalam perjalanan waktu setiap benda akan mengalami perubahan. Karena itu
ilmu hanya menuntut adanya kelestarsian yang relatif.Artinya sisfat- sifat
pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu.
Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda- benda dalam jangka
panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda- beda untuk tiap
benda.
Planet- planet memperlihatkan
perubahan dalam waktu yang relatif sangat panjang bila dibandingkan dengan
sebongkah es batu di suatu panas terik di musim kemarau.Kelestarian yang
relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan
pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
3)
Determinisme merupakan asumsi ilmu yang
ketiga. Kita menganggap bahwa suatu gejala bukanlah suatu kejadian yang
bersifat kebetulan. Setiap gejala mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat
tetap dengan urutan- urutan kejadian yang sama. Bahwa sate dibakar akan
mengeluarkan bau yang merangsang. hal ini bukanlah suatu kebetulan sebab memang
sudah demikian hakikatnya suatu pola. Sebab bila sate dibakar akan senantiasa
timbul bau yang merangsang. Demikian juga dengan gejala- gejala yang lainnya
yang kita temui dalam kehidupan sehari- hari, sesudah langit medung maka
turunlah hujan atau sesudah gelap terbitlah terang. Namun seperti juga dengan
asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yasng
mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu
kejadian yang lain, ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y.
Melainkan mengatakan bahwa X memnya Y.
Determinisme dalam pengertian ilmu
mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).Statistika merupakan
metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala- gejala dalam
penelaahan keilmuan.Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar
statistika adalah teori peluang.Statistika mempunyai peranan yang menentukan
dalam persyaratan- persayaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang
alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan.
Menurut Jujun (1990:89) Dalam
mengembangkan asumsi maka harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi
harus relevan dengan bidang ilmu dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan.
Asumsi bahwa manusia dalam administrasi adalah “manusia administrasi”
kedengarannya memang filsafati namun tidak mempunyai arti apa- apa dalam
penyusunan teori- teori administrasi. Asumsi manusia dalam administrasi yang
bersifat operasional adalah mahluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk
aktualisasi diri, atau makhluk yang kompleks.Berdasarkan asumsi- asumsi ini
maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi dan praktek adminisrasi.
Asumsi bahwa manusia adalah manusia administrasi, dalam pengkajian
administrasi, akan menyebabkan kita berhenti disitu. Seperti sebuah lingkaran,
setelah berputar- putar, kita kembali ketempat semula.
Kedua, asumsi ini harus disimpulkan
dari “keadaan sebagaimana adanya“ bukan “bagaimana keadaan seharusnya” asumsi
yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi kedua
adalah asumsi yang mendasar telah moral. Sekiranya dalam kegiatan
ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia “yang mencari keuntungan
yang sebesar- besarnya dengan korbanan sekecil- kecilnya” maka itu sajalah yang
kita jadikan pegangan tidak usah ditambah sebaiknya begini, atau seharusnya
begitu. Sekiranya asumsi semacam ini digunakan dalam penyusunan
kebijaksanaan (policy), atau strategi serta penjabaran peraturan lainnya maka
hal ini bisa saja dilakukan asal semua itu membantu kita dalam menganalisis
permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya
ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika
keilmuan berdsarkan kenyataan sesungguhnyan sebagaimana adanya.
Seorang ilmuan harus benar- benar
mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya.sebab jika
menggunakan asumsi yang berbeda, maka berbeda pula konsep pemikiran yang
dipergunakan. Sering kita temui bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian
keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini
kadang- kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita
berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka
untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas
(Jujun, 1990:90)
Berdasarkan paparan diatas dapat
disimpulkan bahwa asumsi ilmu sangat diperlukan karena setiap ilmu memerlukan
asumsi.Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi
lebar.Dan Asumsi inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan
kita.
Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai
objek empiris. Pertama, Menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan
satu sama lain. Kedua, Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan
dalam jangaka waktu tertentu, dan yang ketiga Determinisme, merupakan asumsi
ilmu yang menganggap bahwa suatu gejala buakanlah suatu kejadian yang bersifat
kebetulan, Setiap gejala mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat tetap
dengan urutan- urutan kejadian yang sama.
2.3 Anatomi/Komponen
Ilmu
Menurut Bahm, ilmu pengetahuan
setidaknya melibatkan enam komponen penting: 1) masalah (problems);
2) sikap (attitude); 3) metode (method); 4) aktivitas
(activity); 5) kesimpulan (conclusion); 6) pengaruh (effects).
a. Masalah (Problems)
Menurut Bahm, suatu masalah bisa
dianggap ilmiah, sedikitnya memiliki tiga ciri: 1) terkait dengan komunikasi;
2) sikap ilmiah dan 3) metode ilmiah. Tidak ada masalah yang disebut ilmiah
kecuali masalah tersebut bisa dikomunikasikan kepada orang lain. Jika belum
atau tidak dapat dikomunikasikan kepada orang lain atau masyarakat maka belum
dianggap ilmiah. Tidak ada masalah yang pantas disebut ilmiah kecuali masalah
tersebut bisa dihadapkan pada sikap ilmiah. Demikian pula tidak ada masalah
yang pantas disebut ilmiah kecuali harus terkait dengan metode ilmiah.
b. Sikap (attitude)
Sikap ilmiah (scientific attitude)
menurut Bahm setidaknya harus memiliki enam ciri pokok, yaitu: 1) keingintahuan
(curiosity); 2) spikulasi (speculativeness); 3) kemauan untuk berlaku objektif
(willingness to be objective); 4) terbuka (open-maindedness); 5) kemauan untuk
menangguhkan penilaian (willingness to suspend judgment) dan 6) bersifat
sementara (tentativity).
a.
Keingintahuan (curiosity). Keingintahuan
harus dimiliki oleh seorang ilmuwan, seperti keinginan untuk menyelidiki,
investigasi, eksplorasi, dan eksperimentasi.
b. Spikulasi
(spiculativeness). Hal ini penting dalam rangka menguji hipotesis.Spikulasi
juga merupakan ciri penting dalam sikap ilmiah.
c. Kesadaran
untuk berlaku objektif (willingness to be objective). Sikap ini penting,
sebab objektivitas merupakan ciri ilmiah. Sikap demikian harus dimiliki
oleh seorang ilmuwan. Menurut Bahm sikap objektif harus memenuhi syarat-sayarat
sebagai berikut:
1) Memiliki
sifat rasa ingin tahu terhadap apa yang diselidiki untuk memperoleh pemahaman
sebaik mungkin;
2) Melangkah
dengan berdasarkan pada pengalaman dan alasan, artinya, pengalaman dan alasan
saling mendukung, karena alasan yang logis dituntut oleh pengalaman;
3) Dapat
menerima data sebagaimana adanya (tidak ditambah dan dikurangi). Hal ini
terkait dengan sikap objkektif seorang ilmuwan;
4) Bisa
menerima perubahan (fleksibel, terbuka), artinya jika objeknya berubah, maka
seorang ilmuwan mau menerima perubahan tersebut;
5) Berani
menanggung resiko kekeliruan. Oleh sebab itu trial and error merupakan
karakteristik dari seorang ilmuwan.
6) Tidak
mengenal putus asa, artinya gigih dalam mencari objek atau masalah, hingga
mencapai pemahaman secara maksimal.
d. Terbuka
(open mindedness), artinya selalu bersedia menerima kritik dan saran ilmuwan
lain secara lapang dada.
e. Menangguhkan
keputusan/penilaian (willingness to suspend judgment), artinya bersedia
menangguhkan keputusan sampai semua bukti penting terkumpul.
f.
Bersifat sementara, artinya harus
menerima bahwa kesimpulan ilmiah bersifat sementara.
c. Metode
(Method)
Menurut
Bahm, bahwa esensi dari sebuah pengetahuan adalah metode. Setiap pengetahuan
memiliki metodenya sendiri sesuai dengan permasalahannya. Meski diantara para
ilmuwan terjadi perbedaan tentang metode ilmiah, tetapi mereka sepakat bahwa
masalah tanpa observasi tidak akan menjadi ilmiah, sebaliknya observasi tanpa
masalah juga tidak akan menjadi ilmiah. Menurutnya, bahwa ilmu pengetahuan
adalah aktivitas menyelesaikan masalah dan melihat metode ilmiah sebagai
sesuatu yang memiliki karakteristik yang esensial bagi penyelesaian masalah.
Ada lima langkah esensial dan ideal –menurut Bahm– dalam menerapkan metode
ilmiah yang harus dipahami oleh seorang peneliti (ilmuwan), yaitu 1) memahami
masalah; 2) menguji masalah; 3) menyiapkan solusi; 4) menguji hipotesis
dan 5) memecahkan masalah.
d. Aktivitas (Activity)
Aktivitas dimaksud
adalah penelitian ilmiah, yang memiliki dua aspek: individual dan sosial. Aktivitas
penelitian ilmiah meliputi: 1) observasi; 2) membuat hiopotesis, 3)
menguji observasi dan hipotesis dengan cermat dan terkontrol.
e. Kesimpulan
(Conclusion)
Kesimpulan
merupakan penilaian akhir dari suatu sikap, metode dan aktivitas.
Kesimpulan ilmiah tidak pasti, tetapi bersifat sementara dan tidak dogmatis.
Bahkan jika kesimpulan dianggap dogmatis, maka akan mengurangi sifat
dasar dari ilmu pengetahuan tersebut. Pada dasarnya ilmu pengetahuan itu
bersifat tidak stabil, setiap generasi berhak untuk menginterpretasikan kembali
tradisi ilmu pengetahuan itu.
f. Pengaruh
(Effects)
Ilmu pengetahuan
memiliki dua pengaruh, yaitu: 1) pengaruh terhadap teknologi dan industri; 2)
pengaruh pada peradaban manusia. Industrialisasi yang berkembang dengan pesat
merupakan produk dari ilmu pengetahuan yang mempunyai dampak besar terhadap
perkembangan ilmu, sehingga nampak seperti yang terjadi dalam perubahan sifat
ilmu itu sendiri. Proses industrialisasi tidak akan dapat diputarulang yang
akhirnya ilmu pengetahuan itu sendiri mengalami proses terindustrialisasi. Ilmu
pengetahuan yang terindustrialisasi ini menjadi bagian utama dari penggerak
ilmu pengetahuan dan menjadi sebuah sumber bidang penelitian yang
memiliki prestise tinggi.
Ilmu pengetahuan (dengan
produk teknologinya), juga memiliki dampak negatif, misalnya dipergunakannya
senjata nuklir sebagai alat pemusnah massal di Hiroshima pada perang Dunia II
(termasuk pengeboman Iraq oleh Amerika dan Sekutunya sekarang ini).Berbagai
reaksi timbul dari dampak negatif ini. Maka lahirlah perkumpulan-perkumpulan
ilmuwan yang peduli terhadap masalah dampak negatif teknologi, seperti Federasi
ilmuwan Atom, Badan Penelitian Teknologi US, Masyarakat Internasional untuk
Penelitian Teknologi, Kongres Internasional.
Menurut Bahm, bahwa
seseorang yang memiliki perhatian pada permasalahan ilmiah bisa disebut sebagai
ilmuwan, kerena sikap ilmiah merupakan bagian dari seorang ilmuwan. Seseorang
yang berhasil mengungkap permasalahan dengan menggunakan metode tertentu
–meski tidak paham banyak mengenai sifat ilmu— bisa disebut sebagai
ilmuwan. Demikian pula seseorang yang mengamati kesimpulan dari seorang ilmuwan
dan memiliki concern dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan juga bisa
dikatakan telah memiliki aspek ilmiah dalam dirinya.
2.4 Macam-macam
Ilmu
Menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu
Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (dalam Surajiyo, 2010) ada empat jenis
pengetahuan, yakni:
1. Pengetahuan
biasa, yaitu pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan common
sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang
memiliki sesuatu dimana orang itu menerima secara baik. Semua orang menyebutnya
sesuatu itu biru karena memang itu biru, dan juga benda itu dingin karena
memang dirasakan dingin, dan sebagainya.
2. Pengetahuan
ilmiah, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang
sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secar objektif, tujuannya untuk menggambarkan
dan memberi makana terhadap dunia factual.
3. Pengetahuan
Filsafat,yaitu pengetahuan yang diperoleh dari suatu pemikiran. Pengetahuan
filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang
sesuatu.Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid,
filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya
memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis.
4. Pengetahuan
Agama, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan lewat Rasul-Nya. Pengetahuan
agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan
ini mengandung hal-hal yang pokok yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan
Tuhan dan cara berhubungan dengan sesama manusia. Dan yang lebih penting dari
pengetahuan ini disamping informasi tentang Tuhan, juga informasi tentang hari
Akhir.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ilmu
secaranyta dan khas adalah suatu aktifitas manusiawi, yakni perbuatan melakukan
sesuatu yag dilakukan oleh manusia. Selain asumsi yang dimiliki ilmuan,
ilmu sendiri pada dasarnya memiliki dasar asumsi yang tak boleh diganggu gugat
agar ilmu bisa tetap berdiri. Sepertinya banyak versi dari asumsi ilmu
pengetahuan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Hasnah Fauzih (2011), Filsafat Ilmu.
Pekanbaru. Cendikia Insani
http://rifkaputrika.wordpress.com/2013/03/29/iad/
dikutip pada 24 09 2014
Sifat sifat ilmu pengetahuan http:/id.shoong.com
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007: 140)
sifat-sifat ilmu
0 komentar:
Posting Komentar