Sabtu, 07 Oktober 2017

FILSAFAT ILMU

MAKALAH
FILSAFAT ILMU
( KRITERIA , ASUMSI DASAR DAN ANATOMI ILMU )
DOSEN PENGAMPU: Dr. SYAMSUL ARIFIN, M.A

DISUSUN OLEH :
NAMA                                                           NIM
1.      NIRTA SAM SINAR T.                                     160103067
2.      ANDARI FILNA JESIKA                                160103068
3.      NUR’AINI                                                          160103069

KELAS : 1.C
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN TADRIS MATEMATIKA
IAIN MATARAM


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Kriteria , Asumsi Dasar dan Anatomi Ilmu , yang mana makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat.
Adapun yang kami bahas dalam makalah ini yaitu kriteria ilmu , asumsi dasar ilmu , anatomi/ komponen ilmu dan macam-macam ilmu.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangannya, hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan, waktu, serta sumber yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan penyusunan selanjutnya.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Mataram, 21 September 2016















DAFTAR ISI
Ø  COVER.................................................................................................................................i     
Ø  KATA PENGANTAR.………………………………………………................................ii
Ø  DAFTAR ISI….……………………………………………………………......................iii
Ø  BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Materi …………………………………................................... 1
1.2  Rumusan Masalah…………………………………........................................... 2
1.3  Tujuan Pembelajaran …………………………………….............................. …2
Ø  BAB IIPEMBAHASAN
2.1  Kriteria-kriteria Ilmu………………………....................................................... 3
2.2  Asumsi Dasar Ilmu…………..…………………............................................... .3
2.3  Anatomi/Komponen Ilmu……………………................................................... 6
2.4  Macam-macam Ilmu ………………………………………............................... 9
Ø  BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ………………………………….................................................. 11
Ø  DAFTAR PUSTAKA












BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakag Masalah
Ilmu pengetahuan (science) merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu mengandung lebih dari pada ustu arti. Orang awam tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara interdisipliner.

Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi.Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri. Sebelum kita memahami ilmu pengetahuan lebih luas, maka dalam makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan Dasar dan komponen ilmu

1.2  Rumusan Masalah
Agar pembahasan kita berjalan secara sistematis, maka kami selaku tim penyusun membuatkan rumusan dan batasan masalah dalam makalah filsafat ilmu ini, berikut adalah rumusanya :
Seperti definisikan nominalis realis filsafat ilmu itu ?
Apa saja pengrtian dari filsafat ilmu itu?
 Apa saja ciri criteria ilmu pengetahuan ?
Seperti apa objek asumsi dasar ilmu?

1.3   Tujuan Penulisan
Tiada pengharapan yang lebih dari kami selaku tim penyusun dalam tujuan penulisan makalah ini, tetapi setidaknya kami memiliki tujuan yang konkrit dari penyusunan makalah ini, tujuan di harapkan di antaranya ;
Pengrtian dari ilmu filsafat, ciri-ciri criteria ilmu pengetahuan, objek asumsi dasar ilmu, pembagian anatomi menurut teori,dan macam-macam ilmu.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Kriteria-kriteria Ilmu
Senada dengan Popper, A.G.M. van Melsen, mengemukakan delapan ciri ilmu pengetahuan. Kedelapan ciri tersebut adalah (van Melsen, 1985: 65-67):
1.      Secara metodis ilmu pengetahuan harus mencapai pemahaman yang koheren. Hal ini menunjukkan adanya sistem kerja (metode) yang logis.
2.      Ilmu harus dihadirkan tanpa pamrih karena terkait dengan tanggungjawab ilmuan.
3.      Ilmu harus bersifat universal, kendati simpulan-simpulan tentatifnya hanya dapat diimplementasi secara parsial.
4.      Setiap ilmu harus dibimbing oleh obyek tertentu (termasuk manusia).
5.      Ilmu harus dapat diuji ataupun diverifikasi oleh setiap peneliti ilmiah yang terkait dengan core keilmuan dimaksud dan karena itu ilmu harus bersifat intersubyektif atau harus dapat dikomunikasikan.
6.      Suatu jawaban ilmiah harus pula mengundang jawaban dan penemuan baru sehingga harus selalu siap untuk menerima persoalan yang makin kompleks. Hanya karena itulah ilmu menjadi lebih dinamis, progresif (berkembang), dan selalu berubah.
7.      Setiap teori yang mendukung suatu keilmuan harus terbuka untuk dikritik berdasarkan temuan-temuan baru.
8.      Ilmu harus dapat diimplementasikan sebagai wujud hubungan timbal balik antara teori dan praktek.

2.2  Asumsi Dasar Ilmu
Menurut Burhanudin (1997:86-88), Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris :
1)      Menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam bentuk, struktur, sifat, dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke alam satu golongan.Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek- objek yang ditelaahnya dan taksonomi merupakan cabang keilmuan yang mula- mula sekali berkembang.Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taksonomi yuang baik.Lineaus (1707- 1778) merupakan pelopor dalam penggolongan hewan dan tumbuh- tumbuhan secara sistematis.Dengan adanya klasifikasi ini, sehingga kita menganggap bahwa individu- individu dalam suatu kelas tertentu memiliki ciri- ciri yang serupa, maka ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu.Melainkan suatu kelas tertentu.Istilah manusia umpamanya memberikan pengertian tentang suatu kelas yang anggotanya memiliki ciri- ciri tertentu yang serupa.
2)      Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu.Kegiatan ini jelas tidak dapat dilakukan bila objek selalu berubah- ubah tiap waktu. Walaupun begitu kita tidak dapat menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab dalam perjalanan waktu setiap benda akan mengalami perubahan. Karena itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarsian yang relatif.Artinya sisfat- sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu.  Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda- benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda- beda untuk tiap benda.
Planet- planet memperlihatkan perubahan dalam waktu yang relatif sangat panjang bila dibandingkan dengan sebongkah es batu di suatu panas terik di musim kemarau.Kelestarian yang relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
3)      Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap bahwa suatu gejala bukanlah suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Setiap gejala mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan- urutan kejadian yang sama. Bahwa sate dibakar akan mengeluarkan bau yang merangsang. hal ini bukanlah suatu kebetulan sebab memang sudah demikian hakikatnya suatu pola. Sebab bila sate dibakar akan senantiasa timbul bau yang merangsang. Demikian juga dengan gejala- gejala yang lainnya yang kita temui dalam kehidupan sehari- hari, sesudah langit medung maka turunlah hujan atau sesudah gelap terbitlah terang. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yasng mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain, ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y. Melainkan mengatakan bahwa X memnya Y.
Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala- gejala dalam penelaahan keilmuan.Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang.Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan- persayaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan.
Menurut Jujun (1990:89) Dalam mengembangkan asumsi maka harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi harus relevan dengan bidang ilmu dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi bahwa manusia dalam administrasi adalah “manusia administrasi” kedengarannya memang filsafati namun tidak mempunyai arti apa- apa dalam penyusunan teori- teori administrasi. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah mahluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri, atau makhluk yang kompleks.Berdasarkan asumsi- asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi dan praktek adminisrasi. Asumsi bahwa manusia adalah manusia administrasi, dalam pengkajian administrasi, akan menyebabkan kita berhenti disitu. Seperti sebuah lingkaran, setelah berputar- putar, kita kembali ketempat semula.
Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya“ bukan “bagaimana keadaan seharusnya” asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasar  telah moral. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia “yang mencari keuntungan yang sebesar- besarnya dengan korbanan sekecil- kecilnya” maka itu sajalah yang kita jadikan pegangan tidak usah ditambah sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya  asumsi semacam ini digunakan dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi serta penjabaran peraturan lainnya maka hal ini bisa saja dilakukan asal semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdsarkan kenyataan sesungguhnyan sebagaimana adanya.
Seorang ilmuan harus benar- benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya.sebab jika menggunakan asumsi yang berbeda, maka berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sering kita temui bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang- kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas (Jujun, 1990:90)
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa asumsi ilmu sangat diperlukan karena setiap ilmu memerlukan asumsi.Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar.Dan Asumsi inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris. Pertama, Menganggap objek- objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain. Kedua, Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangaka waktu tertentu, dan yang ketiga Determinisme, merupakan asumsi ilmu yang menganggap bahwa suatu gejala buakanlah suatu kejadian yang bersifat kebetulan, Setiap gejala mempunyai suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan- urutan kejadian yang sama.
2.3  Anatomi/Komponen Ilmu
Menurut Bahm, ilmu pengetahuan setidaknya melibatkan enam  komponen penting: 1) masalah (problems);  2) sikap (attitude);  3) metode (method);  4) aktivitas (activity);  5) kesimpulan (conclusion); 6) pengaruh (effects).
a.      Masalah (Problems)
Menurut Bahm, suatu masalah bisa dianggap ilmiah, sedikitnya memiliki tiga ciri: 1) terkait dengan komunikasi; 2) sikap ilmiah dan 3) metode ilmiah. Tidak ada masalah yang disebut ilmiah kecuali masalah tersebut bisa dikomunikasikan kepada orang lain. Jika belum atau tidak dapat dikomunikasikan kepada orang lain atau masyarakat maka belum dianggap ilmiah. Tidak ada masalah yang pantas disebut ilmiah kecuali masalah tersebut bisa dihadapkan  pada sikap ilmiah. Demikian pula tidak ada masalah yang pantas disebut ilmiah kecuali harus terkait dengan metode ilmiah.
b.      Sikap (attitude)
Sikap ilmiah (scientific attitude) menurut Bahm setidaknya harus memiliki enam ciri pokok, yaitu: 1) keingintahuan (curiosity); 2) spikulasi (speculativeness); 3) kemauan untuk berlaku objektif (willingness to be objective); 4) terbuka (open-maindedness); 5) kemauan untuk menangguhkan penilaian (willingness to suspend judgment) dan 6) bersifat sementara (tentativity).
a.       Keingintahuan (curiosity). Keingintahuan harus dimiliki oleh seorang ilmuwan, seperti keinginan untuk menyelidiki, investigasi, eksplorasi, dan eksperimentasi.
b.      Spikulasi (spiculativeness). Hal ini penting dalam rangka menguji hipotesis.Spikulasi juga merupakan ciri penting dalam sikap ilmiah.
c.       Kesadaran untuk berlaku objektif (willingness to be objective). Sikap ini  penting, sebab objektivitas merupakan  ciri ilmiah. Sikap demikian harus dimiliki oleh seorang ilmuwan. Menurut Bahm sikap objektif harus memenuhi syarat-sayarat sebagai berikut:
1)      Memiliki sifat rasa ingin tahu terhadap apa yang diselidiki untuk memperoleh pemahaman sebaik mungkin;
2)      Melangkah dengan berdasarkan pada pengalaman dan alasan, artinya, pengalaman dan alasan saling mendukung, karena alasan yang logis dituntut oleh pengalaman;
3)      Dapat menerima data sebagaimana adanya (tidak ditambah dan dikurangi). Hal ini terkait dengan sikap objkektif seorang ilmuwan;
4)      Bisa menerima perubahan (fleksibel, terbuka), artinya jika objeknya berubah, maka seorang ilmuwan mau menerima perubahan tersebut;
5)      Berani menanggung resiko kekeliruan. Oleh sebab itu trial and error merupakan karakteristik dari seorang ilmuwan.
6)      Tidak mengenal putus asa, artinya gigih dalam mencari objek atau masalah, hingga mencapai pemahaman secara maksimal.
d.      Terbuka (open mindedness), artinya selalu bersedia menerima kritik dan saran ilmuwan lain secara lapang dada.
e.       Menangguhkan keputusan/penilaian (willingness to suspend judgment), artinya bersedia menangguhkan keputusan sampai semua bukti penting terkumpul.
f.       Bersifat sementara, artinya harus menerima bahwa kesimpulan ilmiah bersifat sementara.
c.       Metode (Method)
           Menurut Bahm, bahwa esensi dari sebuah pengetahuan adalah metode. Setiap pengetahuan memiliki metodenya sendiri sesuai dengan permasalahannya. Meski diantara para ilmuwan terjadi perbedaan tentang metode ilmiah, tetapi mereka sepakat bahwa masalah tanpa observasi tidak akan menjadi ilmiah, sebaliknya observasi tanpa masalah juga tidak akan menjadi ilmiah. Menurutnya, bahwa ilmu pengetahuan adalah aktivitas menyelesaikan masalah dan melihat metode ilmiah sebagai sesuatu yang memiliki karakteristik yang esensial bagi penyelesaian masalah. Ada lima langkah esensial dan ideal –menurut Bahm– dalam menerapkan metode ilmiah yang harus dipahami oleh seorang peneliti (ilmuwan), yaitu 1) memahami masalah; 2) menguji masalah; 3) menyiapkan solusi; 4) menguji hipotesis  dan 5) memecahkan masalah.
d.    Aktivitas (Activity)
         Aktivitas dimaksud adalah penelitian ilmiah, yang memiliki dua aspek: individual dan sosial. Aktivitas penelitian ilmiah meliputi:  1) observasi; 2) membuat hiopotesis, 3) menguji observasi dan hipotesis dengan cermat dan terkontrol.
e.       Kesimpulan (Conclusion)
         Kesimpulan merupakan penilaian akhir dari suatu sikap, metode dan aktivitas.  Kesimpulan ilmiah tidak pasti, tetapi bersifat sementara dan tidak dogmatis. Bahkan  jika kesimpulan dianggap dogmatis, maka akan mengurangi sifat dasar dari ilmu pengetahuan tersebut. Pada dasarnya ilmu pengetahuan itu bersifat tidak stabil, setiap generasi berhak untuk menginterpretasikan kembali tradisi ilmu pengetahuan itu.
f.       Pengaruh (Effects)
         Ilmu pengetahuan memiliki dua pengaruh, yaitu: 1) pengaruh terhadap teknologi dan industri; 2) pengaruh pada peradaban manusia. Industrialisasi yang berkembang dengan pesat merupakan produk dari ilmu pengetahuan yang mempunyai dampak besar terhadap perkembangan ilmu, sehingga nampak seperti yang terjadi dalam perubahan sifat ilmu itu sendiri. Proses industrialisasi tidak akan dapat diputarulang yang akhirnya ilmu pengetahuan itu sendiri mengalami proses terindustrialisasi. Ilmu pengetahuan yang terindustrialisasi ini menjadi bagian utama dari penggerak ilmu pengetahuan dan  menjadi sebuah sumber bidang penelitian yang memiliki prestise tinggi.
       Ilmu pengetahuan (dengan produk teknologinya), juga memiliki dampak negatif, misalnya dipergunakannya senjata nuklir sebagai alat pemusnah massal di Hiroshima pada perang Dunia II (termasuk pengeboman Iraq oleh Amerika dan Sekutunya sekarang ini).Berbagai reaksi timbul dari dampak negatif ini. Maka lahirlah perkumpulan-perkumpulan ilmuwan yang peduli terhadap masalah dampak negatif teknologi, seperti Federasi ilmuwan Atom, Badan Penelitian Teknologi US, Masyarakat Internasional untuk Penelitian Teknologi, Kongres Internasional.
       Menurut Bahm, bahwa seseorang yang memiliki perhatian pada permasalahan ilmiah bisa disebut sebagai ilmuwan, kerena sikap ilmiah merupakan bagian dari seorang ilmuwan. Seseorang yang berhasil mengungkap permasalahan dengan menggunakan metode  tertentu –meski tidak paham banyak mengenai  sifat ilmu—  bisa disebut sebagai ilmuwan. Demikian pula seseorang yang mengamati kesimpulan dari seorang ilmuwan dan memiliki concern dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan juga bisa dikatakan telah memiliki aspek ilmiah dalam dirinya.
2.4  Macam-macam Ilmu
Menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (dalam Surajiyo, 2010) ada empat jenis pengetahuan, yakni:
1.      Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu dimana orang itu menerima secara baik. Semua orang menyebutnya sesuatu itu biru karena memang itu biru, dan juga benda itu dingin karena memang dirasakan dingin, dan sebagainya.
2.      Pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam. Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secar objektif, tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makana terhadap dunia factual.
3.      Pengetahuan Filsafat,yaitu pengetahuan yang diperoleh dari suatu pemikiran. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis.
4.      Pengetahuan Agama, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan lewat Rasul-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan ini mengandung hal-hal yang pokok yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan dan cara berhubungan dengan sesama manusia. Dan yang lebih penting dari pengetahuan ini disamping informasi tentang Tuhan, juga informasi tentang hari Akhir.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ilmu secaranyta dan khas adalah suatu aktifitas manusiawi, yakni perbuatan melakukan sesuatu yag dilakukan oleh manusia. Selain asumsi yang dimiliki ilmuan, ilmu sendiri pada dasarnya memiliki dasar asumsi yang tak boleh diganggu gugat agar ilmu bisa tetap berdiri. Sepertinya banyak versi dari asumsi ilmu pengetahuan itu sendiri.






















DAFTAR PUSTAKA

Hasnah Fauzih (2011),  Filsafat Ilmu. Pekanbaru. Cendikia Insani
http://rifkaputrika.wordpress.com/2013/03/29/iad/ dikutip pada 24 09 2014
Sifat sifat ilmu pengetahuan http:/id.shoong.com
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007: 140) sifat-sifat ilmu





















0 komentar:

Posting Komentar

 

Math Proof Template by Ipietoon Cute Blog Design