KARAKTERISTIK
FILSAFAT DAN PENDIDIKAN ISLAM
·
KARAKTERISTIK FILSAFAT
Filsafat
memiliki karakteristik. Karakteristik filsafat tersebut antara lain :
1.
Filsafat menuntut penggunaan rasio yang
tinggi kualitasnya.
2.
Filsafat menuntut cara berfikir yang
radikal, tuntas, sampai ke akar segala sesuatu.
3.
Filsafat merupakan ibu dari segala
pengetahuan dan ilmu dari segala ilmu.
4.
Filsafat membuahkan kearifan (hikmah)
karena kecintaan akan ilmu pengetahuan.
5.
Filsafat menuntut kejelasan dan
sistematika berfikir dengan cara menghubung-hubungkan secara logis akan
pengetahuan-pengetahuan untuk menemukan implikasi-implikasinya yang tersirat
maupun tersurat.
6.
Nilai atau norma merupakan salah satu
objek studi filsafat karena norma pun merupakan bagian dari kearifan.[1]
(Daniel,1985:8)
·
KARAKTERISTIK PENDIDIKAN ISLAM
Integrasi
dan interkoneksi menjadi ciri khas pendidikan islam. Insan kamil yang
diinginkan pendidikan islam adalah manusia yang menguasai seluruh pengetahuan
dan mengintegrasikan aspek-aspek spiritualitas, intelektualitas, skill, dan
potensi-potensi lain.[2]
Diantara karakteristik
pendidikan islam adalah sebagai berikut :
1.
Penguasaan ilmu pengetahuan. Ajaran
normatif Islam mewajibkan meguasai ilmu pengetahuan Rasul-rasul yang di utus
Allah terlebih dahulu dibekali dengan ilmu pengetahuan, dan para Rasul itu
diperintahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan kepada umat manusia.
2.
Pengembangan ilmu penegetahuan. Ilmu
yang telah dikuasai haruslah diberikan dan dikembangkan kepada orang lain. Nabi
Muhammad sangat membenci orang yang memiliki ilmu pengetahuan, tetapi tidak mau
memberi dan mengembangkan kepada orang lain. (al-Hasyim: 1948:128)
3.
Penekanan pada nilai - nilai akhlak
dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang
didapat dari pendidikan Islam terikat oleh nilai-nilai akhlak, “ Tidaklah aku diutus kecuali untuk
menyampaikan akhlak yang mulia.” (al-Hadits)
4.
Penguasaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan,
sebagaimana Rasulullah telah mengatakan “ Tuntutlah olehmu sekalian ilmu
pengetahuan itu sekehendakmu, tetapi demi Allah, mereka tidak akan memperoleh
pahala karena mengumpulkan ilmu tanpa diamalkan”. (HR. Abu al-Hasan Bin Khazim
dari Anas)
5.
Penyesuaian kepada perkembangan anak.
Sejak awal perkembangan Islam, perkembangan islam diberikan kepada anak sesuai
dengan umur, kemampuan, perkembangan jiwa dan bakat anak. Setiap usaha dan
proses pendidikan haruslah memperhatikan factor pertumbuhan anak.
6.
Perkembangan kepribadian. Bakat alami
dan kemampuan pribadi tiap-tiap peserta didik diberikan kesempatan berkembang
sehingga bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Setiap kemampuan
dipandang sebagi amanah Tuhan, dan seluruh kemampuan fisik dan mental adalah
anugerah dari Tuhan. Pengembangan kepribadian itu berkaitan dengan seluruh
nilai dan sistem Islam, sehingga setiap anak didik dapat diarahkan untuk
mencapai tujuan Islam. (Ahmad: 1948 : 18).
7.
Penekanan pada amal shaleh dan tanggung
jawab. Setiap peserta didik diberi semangat dan didorong untuk mengamalkan ilmu
pengetahuan sehingga bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakat islam
secara keseluruhan. Amal shaleh dan tanggung jawab itulah yang mengantarkannya
kelak kepada kebahagiaan dihari kemudian, seperti yang di umpamakan nabi
Muahammad saw. “ Bila manusia mati, putuslah segala amalnya kecuali tiga hal :
sadaqah jariyah , ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendo’akannya ”.
(HR. Muslim)[3]
DIMENSI
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
·
EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Dari
beberapa literatur dapat disebutkan bahwa epistemology adalah teori
pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari
objek yang ingin dipikirkan.4 D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan
pengandaipengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Selanjutnya, pengertian
epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa
epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur,
metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Dapat kita disimpulkan bahwa
epistemologi merupakan salah satu komponen filsafat yang berhubungan dengan
ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan cara, proses, dan prosedur
bagaimana ilmu itu diperoleh.
Dalam
pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau
pendekatan yang dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada
komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat
dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun
aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik,
pemberi solusi, penemu, dan pengembang. Pendekatan epistemologi memerlukan cara
atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan siswa dibandingkan
hasilnya.
Pendekatan
epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang
yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya,
banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Bisa
dipastikan bahwa jika pendekatan epistemologi ini benarbenar diimplementasikan
dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam, siswa dapat memiliki
kemampuan memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya. [4]
Pendekatan
epistemology membuka kesadaran peserta didik untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, bahkan dapat memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh.
Disisi lain epistemology yang merupakan pendekatan yang berbasis proses akan
melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis, sebagaimana berikut ini :
1.
Menghilangkan paradigma dikotomi antara
ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas untuk dinilai ;
mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan dan tidak mengajarkan sisi
tradisional saja, tetapi sisi rasional.
2.
Mengubah pola pendidikan islam
indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan
ruang bagi siswa untuk berfikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, dan logis.
Intinya pendekatan epistemology ini menuntut guru dan siswa untuk sama-sama
aktif dalam proses belajar mengajar.
3.
Mengubah paradigma ideologis menjadi
paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah. Sebab paradigma ideologis ini
karena otoritasnya dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka
dan dinamis. Secara praktis, pradigma ideologis tidak memberikan ruang gerak
pada penalaran atau pemikiran bebas yang bertanggung jawab secara argumentatif.
Padahal , Al-Qur’an sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk
mengkaji, meneliti, mengobservasi, dan melakukan penemuan pada ayat kauniyah.
Oleh karena itu agar epistemology pendidikan islam terwujud maka konsekuensinya
harus berbijak pada wahyu Allah.
4.
Guna menopang dan mendasari pendekatan
epistemology ini, perlu dilakukan rekontruksi kurikulum yang masih sekuler dan
bebas nilai spiritual ini menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab
pengetahuan yang bersumber dari hasil penelitian pada alam semesta (ayat
kauniyah) dan ayat al-Qur’an atau naqliyah merupakan ilmu Allah. Ini berarti
bahwa semua ilmu bersumber dari-Nya. Terkait dengan pengembangan kurikulum
pendidikan islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis dan
transedental perlu diturunkan dan dan dikaitkan dengan dunia empiris dan
lapangan.
5.
Epistemology pendidikan islam
diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya
orientasi pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang integrasi antara
iman, ilmu, amal dan akhlak.
6.
Konsekuensi yang lain adalah mengubah
pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual menjadi pendekatan
konstektual atau aplikatif.
7.
Adanya peningkatan profesionalisme
tenaga pendidik dan penguasaan materi yang kompeherensif tentang materi ajar
yang terintegrasi antara ilmu dan wahyu.[5]
·
ONTOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Kata ontologi, berasal dari dua kata dasar yaitu Ontos dan Logos.
Ontos yang berarti Ada dan Logos yang berarti Ilmu. Sehingga secara global
istilah onntologi bisa diartikan sebagai suatu ilmu yang mengkaji tentang
hakiat dari segala sesuatu Yang-Ada. Hakikat dalam kajian ontologi adalah
keadaan sebenarnya dari sesuatu, bukan keadaan sementara yang selalu
berubah-ubah.
Ontologi
pendidikan Islam adalah menyelami hakikat dari pendidikan Islam, kenyataan
dalam pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang melingkupinya,
meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam, hakikat tujuan
pendidikan Islam, hakikat manusia Jumhur, “ Karakteristik Pendidikan
Islam ˮ, Jurnal TA’DIB, Vol. IV No.
02 , (September 2001), hal.134 – 135
sebagai
subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan
hakikat kurikulum pendidikan Islam.[6]
-
Konsep
Pendidikan Dalam Islam
Heri jauhari
menyebutkan bahwasannya pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk
mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta serta memiliki
potensi atau kemampuan sebagaimana mestinya.
Menurut
Hasan al-Banna -sebagaimana dikutip A. Susanto- konsep pendidikan islam
meliputi tiga sisi, yaitu pengembangan potensi jasmani, akal dan hati sebagai
tiga unsur pokok yang dimiliki manusia dan sekaligus sebagai pewarisan
kebudayaan Islam.
Hamka
berpendapat pendidikan terbagi menjadi dua. pertama, pendidikan jasmani,
yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa
dan akal. kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan
fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan agama,
kedua unsur tersebut memiliki kecendrungan untuk berkembang. Hal ini
sebagaimana disadur oleh A.Susanto dalam Pemikiran pendidikan Islam.[7]
-
Tujuan
Pendidikan dalam Islam
Tujuan
adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan
selesai; artinya tujuan merupakan kehendak seseorang untuk mendapatkan dan
memiliki, serta memanfaatkannya bagi kebutuhan dirinya sendiri atau untuk orang
lain.[8]
Menurut
Hasan Langgulung sebagaimana disebutkan Abuddin Nata bahwa tujuan pendidikan
agama harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi
spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang
berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk akhlak , dan fungsi social
yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia
lain serta masyarakat dengan masyarakat lain sehingga terjalin hubungan yang
harmonis dan seimbang.[9]
-
Hakikat
Manusia dalam Pendidikan Islam
Manusia
dalam pandangan Al-Qur’an adalah makhluk unik (luar biasa) lantaran kedudukannya
sebagai khalifah. Manusia mempunyai fitrah yang baik, kemampuan berkehendak (free
will), badan raga, ruh dan akal. Dengan demikian, pendidikan harus
mengembangkan atribut-atribut manusia tersebut. Demikian pula pendidikan Islam
bertujuan membentuk manusia yang beriman yang menyadari dan memperhatikan
komponen-komponen fitrahnya, tanpa mengorbankan salah satu demi pengembangan
yang lain.[10]
Inti dari konsep
pendidikan menurut Al-Qur’an adalah proses pengembangan dan pembetukan manusia
yang selalu berlandaskan tauhid/mengesakan Allah, beribadah dan membesarkan
nama-Nya. Karena Allah tiada menciptakan manusia kecuali beribadah untuk
menyembah-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
(Q.S. adz-Dzaariyaat: 56).
Allah
menyebutkan tiga sifat utama bagi pendidik dalam surat al-Fatah ayat ke-8
yaitu:
1.
Syahidan (penggerak
perasaan-perasaan)
2.
Mubasysyiran (pembawa
berita gembira)
3.
Naziran (pembawa
peringatan untuk menahan dari kejahatan).[11]
-
Kurikulum
dalam Pendidikan Islam
Kurikulum dalam
pendidikan Islam, yaitu kata manhaj, yang bermakna jalan yang terang,
atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Jadi,
kurikulum yang dimaksud adalah jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau
guru latih dengan orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka. 25
Keberadaan
kurikulum dalam pendidikan Islam sebagai alat untuk mendidik generasi muda
dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan
kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan, dan ketrampilan mereka
yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak
dan kewajiban, memikul tanggungjawab terhadap diri, keluarga, masyarakat,
bangsanya dan turut serta secara aktif untuk kemajuan masyarakat dan bangsanya.
Alat
pendidikan yang di maksudkan penulis adalah media untuk terlaksananya proses
pendidikan, maka alat disini mencakup apa saja yang dapat digunakan termasuk
didalamnya metode pendidikan menurut al-Qur’an. Sehingga metode dan alat
pendidikan dalam masyarakat adalah cara dan segala apa saja yang dapat
digunakan untuk menuntun dan membimbing setiap individu masyarakat dalam usaha
membentuk kepribadian muslim yang diridhai Allah. Oleh karena itu, alat dan
metode pendidikan dalam masyarakat haruslah searah dengan Al-Qur’an dan
as-Sunnah.[12]
Kurikulum mempunyai peran penting dalam upaya
untuk mencapai tujuan pendidikan. Apalagi ini tujuan pendidikan Islam yang
begitu kompleks, seorang anak didik tidak hanya memiliki kemampuan secara
afektif, kognitif maupun psikomotor, tetapi dalam dirinya harus tertanam sikap
dan pribadi yang berakhlakul karimah yang selalu berlandaskan tauhid /
mengesakan Allah, beribadah kepada-Nya.[13]
·
AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Aksiologis
membahas tentang hakikat nilai, yang didalamnya meliputi baik dan buruk (good
and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang
cara dan tujuan (means and ends). Cara memandangnya dari sudut baik dan
tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia. pendidikan Islam
diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan
dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
Terwujudnya
kondisi mental-moral dan spiritual religius menjadi target arah pengembangan
sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral
pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan
keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan
tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar
yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
Selain konteks etika profetik, aksiologis
dalam pendidikan Islam meliputi estetika yang merupakan nilai-nilai yang
berkaitan dengan kreasi yang berhubungan dengan seni. Dengan seni itulah,
nantinya bisa dijadikan sebagai media dan alat kesenangan, sebagai ekspresi
yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun,
lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika
menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan
menggunakan pendekatan estetis-moral, di mana setiap persoalan pendidikan Islam
dilihat dari perspektif yang mengikutsertakan kepentingan masing-masing pihak,
baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti
pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang
kreatif, berseni (sesuai dengan Islam) sehingga pendidikan Islam tetap memiliki
daya tarik dan kajian yang senantiasa berkesinambungan serta relevan hingga
akhir zaman.
Ada
beberapa nilai etika profetik dalam rangka pengembangan dan penerapan Ilmu
Pendidikan Islam, yaitu:
a. Nilai
ibadah, yakni bagi praktisi dan pemerhati pendidikan Islam, dalam segala proses
dan berfikirnya senantiasa tercatat sebagai ibadah, sebagaimana Firman-Nya:
Artinya : Orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka (QS. Ali Imran: 191).
b. Nilai
ihsan, yakni penyelenggaraan pendidikan Islam hendaknya dikembangkan atas dasar
berbuat baik terhadap sesama. Allah berfirman:
Artinya: dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash: 77)
c. Nilai
masa depan, pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa
depan yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang hidup
dengan tantangan yang jauh berbeda dengan periode sebelumnya, yakni menyiapkan
sumber daya manusia yang cakap, terampil dan profesional. Sebagaimana
firman-Nya:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Hasyr: 18)
d. Nilai
kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi kepentingan
dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta, sebagaimana termaktub
dalam QS.al-Anbiya’: 107 berikut:
Artinya: dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
e. Nilai
dakwah, yakni penerapan dan pengembangan ilmu pendidikan Islam merupakan wujud
penyebaran syiar Islam, sebagaimana dalam QS. Hamim al-Sajadah: 33.
Artinya:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk
orang-orang yang menyerah diri ?
Maka kemudian, jika
landasan ini senantiasa menjadi pegangan hidup dalam lingkup pendidikan Islam,
maka unsur aksiologis pendidikan Islam tetap abadi dan sesuai dengan harapan
dan kebutuhan masyarakat.[14]
[1] A.
Heris Hermawan, M.Ag. , Filsafat
Pendidikan Islam ( Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI , 2012 ), hlm. 8
[2]
Rohinah, “ Filsafat Pendidikan Islam ; Studi Filosofis atas Tujuan dan Metode
Pendidikan Islam ˮ, Jurnal Pendidikan
Islam , Vol. II No.2 , (Desember 2013), hal.319
[3]
Jumhur, “ Karakteristik Pendidikan Islam ˮ, Jurnal
TA’DIB, Vol. IV No. 02 , (September 2001), hal.134 – 135
[4] Moh.
Wardi , “ Problematika Pendidikan Islam dan Solusi Alternatifnya (Perspektif
Ontologis, Epistemologis dan Aksiologi) ˮ, Jurnal
Tadris , Vol. 8 No.1 , (Juni 2013),
hal.58 – 59
[5]
Sri Minarti , Ilmu Pendidikan Islam :
Fakta Teoretis-Filosofis & Aplikatif-Normatif ( Jakarta : Amzah , 2013
), hlm.186 – 189.
[6]
Muh. Mustakim , “ Ontologi Pendidikan Islam ( Hakikat Pendidikan dalam
Perspektif Islam ) ˮ, Jurnal At – Tajdid ,
Vol. 1 No.2 , (Juli 2012), hal. 164
[7]
Ibid, hal. 167 – 168.
[8]
Ibid, hal. 171
[9]
Rohinah, “ Filsafat Pendidikan Islam ; Studi Filosofis atas Tujuan dan Metode
Pendidikan Islam ˮ, Jurnal Pendidikan
Islam , Vol. II No.2 , (Desember 2013), hal.320
[10]
Muh. Mustakim , “ Ontologi Pendidikan Islam ( Hakikat Pendidikan dalam
Perspektif Islam ) ˮ, Jurnal At – Tajdid ,
Vol. 1 No.2 , (Juli 2012), hal. 175
[11]
Ibid, hal. 178.
[12]
Ibid, hal. 179
[13]
Ibid, hal. 180
[14]
Moh. Wardi , “ Problematika Pendidikan Islam dan Solusi Alternatifnya
(Perspektif Ontologis, Epistemologis dan Aksiologi) ˮ, Jurnal Tadris , Vol. 8 No.1
, (Juni 2013), hal.65-68
0 komentar:
Posting Komentar