Minggu, 29 Oktober 2017

KARAKTERISTIK DAN DIMENSI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



KARAKTERISTIK FILSAFAT DAN PENDIDIKAN ISLAM


·         KARAKTERISTIK FILSAFAT
Filsafat memiliki karakteristik. Karakteristik filsafat tersebut antara lain :
1.      Filsafat menuntut penggunaan rasio yang tinggi kualitasnya.
2.      Filsafat menuntut cara berfikir yang radikal, tuntas, sampai ke akar segala sesuatu.
3.      Filsafat merupakan ibu dari segala pengetahuan dan ilmu dari segala ilmu.
4.      Filsafat membuahkan kearifan (hikmah) karena kecintaan akan ilmu pengetahuan.
5.      Filsafat menuntut kejelasan dan sistematika berfikir dengan cara menghubung-hubungkan secara logis akan pengetahuan-pengetahuan untuk menemukan implikasi-implikasinya yang tersirat maupun tersurat.
6.      Nilai atau norma merupakan salah satu objek studi filsafat karena norma pun merupakan bagian dari kearifan.[1] (Daniel,1985:8)

·         KARAKTERISTIK PENDIDIKAN ISLAM
Integrasi dan interkoneksi menjadi ciri khas pendidikan islam. Insan kamil yang diinginkan pendidikan islam adalah manusia yang menguasai seluruh pengetahuan dan mengintegrasikan aspek-aspek spiritualitas, intelektualitas, skill, dan potensi-potensi lain.[2]
Diantara karakteristik pendidikan islam adalah sebagai berikut :
1.      Penguasaan ilmu pengetahuan. Ajaran normatif Islam mewajibkan meguasai ilmu pengetahuan Rasul-rasul yang di utus Allah terlebih dahulu dibekali dengan ilmu pengetahuan, dan para Rasul itu diperintahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan kepada umat manusia.
2.      Pengembangan ilmu penegetahuan. Ilmu yang telah dikuasai haruslah diberikan dan dikembangkan kepada orang lain. Nabi Muhammad sangat membenci orang yang memiliki ilmu pengetahuan, tetapi tidak mau memberi dan mengembangkan kepada orang lain. (al-Hasyim: 1948:128)
3.      Penekanan pada nilai - nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapat dari pendidikan Islam terikat oleh nilai-nilai akhlak, “ Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyampaikan akhlak yang mulia.” (al-Hadits)
4.      Penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan, sebagaimana Rasulullah telah mengatakan “ Tuntutlah olehmu sekalian ilmu pengetahuan itu sekehendakmu, tetapi demi Allah, mereka tidak akan memperoleh pahala karena mengumpulkan ilmu tanpa diamalkan”. (HR. Abu al-Hasan Bin Khazim dari Anas)
5.      Penyesuaian kepada perkembangan anak. Sejak awal perkembangan Islam, perkembangan islam diberikan kepada anak sesuai dengan umur, kemampuan, perkembangan jiwa dan bakat anak. Setiap usaha dan proses pendidikan haruslah memperhatikan factor pertumbuhan anak.
6.      Perkembangan kepribadian. Bakat alami dan kemampuan pribadi tiap-tiap peserta didik diberikan kesempatan berkembang sehingga bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Setiap kemampuan dipandang sebagi amanah Tuhan, dan seluruh kemampuan fisik dan mental adalah anugerah dari Tuhan. Pengembangan kepribadian itu berkaitan dengan seluruh nilai dan sistem Islam, sehingga setiap anak didik dapat diarahkan untuk mencapai tujuan Islam. (Ahmad: 1948 : 18).
7.      Penekanan pada amal shaleh dan tanggung jawab. Setiap peserta didik diberi semangat dan didorong untuk mengamalkan ilmu pengetahuan sehingga bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakat islam secara keseluruhan. Amal shaleh dan tanggung jawab itulah yang mengantarkannya kelak kepada kebahagiaan dihari kemudian, seperti yang di umpamakan nabi Muahammad saw. “ Bila manusia mati, putuslah segala amalnya kecuali tiga hal : sadaqah jariyah , ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendo’akannya ”. (HR. Muslim)[3]





DIMENSI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

·         EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa epistemology adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.4 D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pengandaipengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Dapat kita disimpulkan bahwa epistemologi merupakan salah satu komponen filsafat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan cara, proses, dan prosedur bagaimana ilmu itu diperoleh.
Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan pengembang. Pendekatan epistemologi memerlukan cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan siswa dibandingkan hasilnya.
Pendekatan epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Bisa dipastikan bahwa jika pendekatan epistemologi ini benarbenar diimplementasikan dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam, siswa dapat memiliki kemampuan memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya. [4]
Pendekatan epistemology membuka kesadaran peserta didik untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, bahkan dapat memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh. Disisi lain epistemology yang merupakan pendekatan yang berbasis proses akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis, sebagaimana berikut ini :
1.      Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas untuk dinilai ; mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan dan tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional.
2.      Mengubah pola pendidikan islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berfikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, dan logis. Intinya pendekatan epistemology ini menuntut guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.
3.      Mengubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah. Sebab paradigma ideologis ini karena otoritasnya dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka dan dinamis. Secara praktis, pradigma ideologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas yang bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal , Al-Qur’an sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, mengobservasi, dan melakukan penemuan pada ayat kauniyah. Oleh karena itu agar epistemology pendidikan islam terwujud maka konsekuensinya harus berbijak pada wahyu Allah.
4.      Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemology ini, perlu dilakukan rekontruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab pengetahuan yang bersumber dari hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) dan ayat al-Qur’an atau naqliyah merupakan ilmu Allah. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari-Nya. Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis dan transedental perlu diturunkan dan dan dikaitkan dengan dunia empiris dan lapangan.
5.      Epistemology pendidikan islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada pertumbuhan yang integrasi antara iman, ilmu, amal dan akhlak.
6.      Konsekuensi yang lain adalah mengubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual menjadi pendekatan konstektual atau aplikatif.
7.      Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan penguasaan materi yang kompeherensif tentang materi ajar yang terintegrasi antara ilmu dan wahyu.[5]

·         ONTOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Kata ontologi, berasal dari dua kata dasar yaitu Ontos dan Logos. Ontos yang berarti Ada dan Logos yang berarti Ilmu. Sehingga secara global istilah onntologi bisa diartikan sebagai suatu ilmu yang mengkaji tentang hakiat dari segala sesuatu Yang-Ada. Hakikat dalam kajian on­tologi adalah keadaan sebenarnya dari sesuatu, bukan keadaan semen­tara yang selalu berubah-ubah.
Ontologi pendidikan Islam adalah menyelami hakikat dari pendidikan Islam, kenyataan dalam pendidikan Islam dengan segala pola organisasi yang melingkupinya, meliputi hakikat pendidikan Islam dan ilmu pendidikan Islam, hakikat tujuan pendidikan Islam, hakikat manusia Jumhur, “ Karakteristik Pendidikan Islam ˮ, Jurnal TA’DIB, Vol. IV No. 02 , (September 2001), hal.134 – 135
sebagai subjek pendidikan yang ditekankan kepada pendidik dan peserta didik, dan hakikat kurikulum pendidikan Islam.[6]
-          Konsep Pendidikan Dalam Islam
Heri jauhari menyebutkan bahwasannya pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta serta memiliki potensi atau kemampuan sebagaimana mestinya.
Menurut Hasan al-Banna -sebagaimana dikutip A. Susanto- konsep pendidikan islam meliputi tiga sisi, yaitu pengembangan potensi jasmani, akal dan hati sebagai tiga unsur pokok yang dimiliki manusia dan sekaligus sebagai pewarisan kebudayaan Islam.
Hamka berpendapat pendidikan terbagi menjadi dua. pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. kedua, pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan agama, kedua unsur tersebut memiliki kecendrungan untuk berkembang. Hal ini sebagaimana disadur oleh A.Susanto dalam Pemikiran pendidikan Islam.[7]
-          Tujuan Pendidikan dalam Islam
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai; artinya tujuan merupakan kehendak seseorang untuk mendapatkan dan memiliki, serta memanfaatkannya bagi kebutuhan dirinya sendiri atau untuk orang lain.[8]
Menurut Hasan Langgulung sebagaimana disebutkan Abuddin Nata bahwa tujuan pendidikan agama harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk akhlak , dan fungsi social yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain serta masyarakat dengan masyarakat lain sehingga terjalin hubungan yang harmonis dan seimbang.[9]

-          Hakikat Manusia dalam Pendidikan Islam
Manusia dalam pandangan Al-Qur’an adalah makhluk unik (luar biasa) lantaran kedudukannya sebagai khalifah. Manusia mempunyai fitrah yang baik, kemampuan berkehendak (free will), badan raga, ruh dan akal. Dengan demikian, pendidikan harus mengembangkan atribut-atribut manusia tersebut. Demikian pula pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia yang beriman yang menyadari dan memperhatikan komponen-komponen fitrahnya, tanpa mengorbankan salah satu demi pengembangan yang lain.[10]
Inti dari konsep pendidikan menurut Al-Qur’an adalah proses pengembangan dan pembetukan manusia yang selalu berlandaskan tauhid/mengesakan Allah, beribadah dan membesarkan nama-Nya. Karena Allah tiada menciptakan manusia kecuali beribadah untuk menyembah-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
 “Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. adz-Dzaariyaat: 56).
Allah menyebutkan tiga sifat utama bagi pendidik dalam surat al-Fatah ayat ke-8 yaitu:
1. Syahidan  (penggerak perasaan-perasaan)
2. Mubasysyiran  (pembawa berita gembira)
3. Naziran  (pembawa peringatan untuk menahan dari kejahatan).[11]

-          Kurikulum dalam Pendidikan Islam
Kurikulum dalam pendidikan Islam, yaitu kata manhaj, yang bermakna jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Jadi, kurikulum yang dimaksud adalah jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru latih dengan orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka. 25
Keberadaan kurikulum dalam pendidikan Islam sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan, dan ketrampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul tanggungjawab terhadap diri, keluarga, masyarakat, bangsanya dan turut serta secara aktif untuk kemajuan masyarakat dan bangsanya.
Alat pendidikan yang di maksudkan penulis adalah media untuk terlaksananya proses pendidikan, maka alat disini mencakup apa saja yang dapat digunakan termasuk didalamnya metode pendidikan menurut al-Qur’an. Sehingga metode dan alat pendidikan dalam masyarakat adalah cara dan segala apa saja yang dapat digunakan untuk menuntun dan membimbing setiap individu masyarakat dalam usaha membentuk kepribadian muslim yang diridhai Allah. Oleh karena itu, alat dan metode pendidikan dalam masyarakat haruslah searah dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah.[12]
 Kurikulum mempunyai peran penting dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Apalagi ini tujuan pendidikan Islam yang begitu kompleks, seorang anak didik tidak hanya memiliki kemampuan secara afektif, kognitif maupun psikomotor, tetapi dalam dirinya harus tertanam sikap dan pribadi yang berakhlakul karimah yang selalu berlandaskan tauhid / mengesakan Allah, beribadah kepada-Nya.[13]


·         AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Aksiologis membahas tentang hakikat nilai, yang didalamnya meliputi baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia. pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
Terwujudnya kondisi mental-moral dan spiritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
 Selain konteks etika profetik, aksiologis dalam pendidikan Islam meliputi estetika yang merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi yang berhubungan dengan seni. Dengan seni itulah, nantinya bisa dijadikan sebagai media dan alat kesenangan, sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, di mana setiap persoalan pendidikan Islam dilihat dari perspektif yang mengikutsertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam) sehingga pendidikan Islam tetap memiliki daya tarik dan kajian yang senantiasa berkesinambungan serta relevan hingga akhir zaman.
Ada beberapa nilai etika profetik dalam rangka pengembangan dan penerapan Ilmu Pendidikan Islam, yaitu:
a.       Nilai ibadah, yakni bagi praktisi dan pemerhati pendidikan Islam, dalam segala proses dan berfikirnya senantiasa tercatat sebagai ibadah, sebagaimana Firman-Nya:
Artinya : Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran: 191).
b.      Nilai ihsan, yakni penyelenggaraan pendidikan Islam hendaknya dikembangkan atas dasar berbuat baik terhadap sesama. Allah berfirman:
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash: 77)
c.       Nilai masa depan, pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang hidup dengan tantangan yang jauh berbeda dengan periode sebelumnya, yakni menyiapkan sumber daya manusia yang cakap, terampil dan profesional. Sebagaimana firman-Nya:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Hasyr: 18)
d.      Nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi kepentingan dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta, sebagaimana termaktub dalam QS.al-Anbiya’: 107 berikut:
Artinya: dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
e.       Nilai dakwah, yakni penerapan dan pengembangan ilmu pendidikan Islam merupakan wujud penyebaran syiar Islam, sebagaimana dalam QS. Hamim al-Sajadah: 33.
Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri ?
Maka kemudian, jika landasan ini senantiasa menjadi pegangan hidup dalam lingkup pendidikan Islam, maka unsur aksiologis pendidikan Islam tetap abadi dan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.[14]



[1] A. Heris Hermawan, M.Ag. , Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI , 2012 ), hlm. 8
[2] Rohinah, “ Filsafat Pendidikan Islam ; Studi Filosofis atas Tujuan dan Metode Pendidikan Islam ˮ, Jurnal Pendidikan Islam , Vol. II No.2 , (Desember 2013), hal.319

[3] Jumhur, “ Karakteristik Pendidikan Islam ˮ, Jurnal TA’DIB, Vol. IV No. 02 , (September 2001), hal.134 – 135
[4] Moh. Wardi , “ Problematika Pendidikan Islam dan Solusi Alternatifnya (Perspektif Ontologis, Epistemologis dan Aksiologi) ˮ, Jurnal Tadris , Vol. 8  No.1 , (Juni 2013), hal.58 – 59

[5] Sri Minarti , Ilmu Pendidikan Islam : Fakta Teoretis-Filosofis & Aplikatif-Normatif ( Jakarta : Amzah , 2013 ), hlm.186 – 189.
[6] Muh. Mustakim , “ Ontologi Pendidikan Islam ( Hakikat Pendidikan dalam Perspektif Islam ) ˮ, Jurnal At – Tajdid , Vol. 1 No.2 , (Juli 2012), hal. 164
[7] Ibid, hal. 167 – 168.
[8] Ibid, hal. 171
[9] Rohinah, “ Filsafat Pendidikan Islam ; Studi Filosofis atas Tujuan dan Metode Pendidikan Islam ˮ, Jurnal Pendidikan Islam , Vol. II No.2 , (Desember 2013), hal.320
[10] Muh. Mustakim , “ Ontologi Pendidikan Islam ( Hakikat Pendidikan dalam Perspektif Islam ) ˮ, Jurnal At – Tajdid , Vol. 1 No.2 , (Juli 2012), hal. 175

[11] Ibid, hal. 178.
[12] Ibid, hal. 179
[13] Ibid, hal. 180
[14] Moh. Wardi , “ Problematika Pendidikan Islam dan Solusi Alternatifnya (Perspektif Ontologis, Epistemologis dan Aksiologi) ˮ, Jurnal Tadris , Vol. 8  No.1 , (Juni 2013), hal.65-68







0 komentar:

Posting Komentar

 

Math Proof Template by Ipietoon Cute Blog Design