NAMA : ANDARI FILNA JESIKA
NIM : 160103068
KELAS : I.C
JURUSAN : PENDIDIKAN MATEMATIKA
CARA
MENGETAHUI RIWAYAT ASBABUN NUZUL
·
Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Aisyah
pernah mendengar ketika Khaulah binti Sa’labah mempertanyakan suatu hal kepada
nabi bahwasannya dia dikenakan zihar oleh suaminya Aus bin Samit katanya: “
Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku
mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi
ia menjatuhkan zihar kepadaku”. Ya allah sesunguhnya aku mengadu kepadamu,
aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini; sesungguhnya
allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya,
yakni Aus bin Samit. Hal ini tidak berarti sebagai acuan bagi setiap orang
harus mencari sebab turun setiap ayat , karena tidak semua ayat Qur’an
diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dalam kejadian, atau karena suatu
pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan
tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syariat Allah dalam
kehidupan pribadi dan social.
Sahabat
Ali ibn Mas’ud dan lainnya, tentu tidak satu ayat pun diturunkan kecuali salah
seorang mereka mengetahui tentang apa ayat itu diturunkan. Intensitas para
sahabat mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti perjalanan turunnya
wahyu, mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hal-hal
yang berhubungan serta mereka juga melestarikan sunah nabi.
Asbabun
Nuzul dengan hadist mursal, yaitu hadist yang gugur dari sanadnya seorang
sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka
riwayat ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan mengambil tafsirnya dari
para sahabat, seperti Mujahid, Hikmah dan Said bin Jubair. para ulama
menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui
riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat menerima hasil nalar dan ijtihad dalam
masalah ini, namun tampaknya pandangan mereka tidak selamanya berlaku secara
mutlak, tidak jarang pandangan terhadap riwayat-riwayat asbabun nuzul bagi ayat
tertentu berbeda-beda yang kadang-kadang memerlukan Tarjih ( mengambil riwayat
yang lebih kuat ) untuk melakukan tarjih diperlukan analisis dan ijtihad.
·
Cara Mengetahui Riwayat Asbabun Nuzul
Asbab
An-Nuzul adalah peristiwa sejarah yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Oleh
karena itu, tidak boleh ada cara lain untuk mengetahuinya, selain berdasarkan periwayatan
(pentransmisian) yang benar (naql ash-shalih) dari orang-orang yang melihat dan
mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran.[1]
Dengan demikian, seperti halnya periwayatan pada umumnya, diperlukan
kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan asbab An-Nuzul.
Untuk itu, dalam kitab Asbab An-Nuzul-nya
, Al-Wahidy menyatakan :
Artinya
: “ Pembicaraan asbab An-Nuzul, tidak dibenarkan, kecuali dengan berdasarkan
riwayat dan mendengar dari meraka yang secara langsung menyaksikan peristiwa
nuzul, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”[2]
Para ulama salaf sangatlah keras dan
ketat dalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbab An-Nuzul. Keketatan
mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi)
, sumber riwayat (isnad) dan redaksi berita (matan). Bukti keketatan itu
diperlihatkan oleh Ibn Sirin ketika menceritakan pengalamannya sendiri :
Artinya
: “ Aku pernah bertanya kepada Ubadah
tentang sebuah ayat Al-Quran, tetapi ia menjawab, ‘Hendaklah engkau bertaqwa
kepada Allah dan berbicaralah yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai
apa ayat Al-Quran diturunkan sudah tidak ada lagi.”[3]
Akan
tetapi, perlu dicatat bahwa sikap kekritisan mereka tidak dikenakan terhadap
materi asbab An-Nuzul yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi. Mereka berasumsi
bahwa apa yang dikatakan sahabat Nabi , yang tidak masuk dalam lapangan
penukilan dan pendenganran , dapat dipastikan ia mendengar ijtihadnya sendiri.[4]
Karena itu pula , Ibn Shalah , Al-Hakim , dan para ulama hadis lainnya
menetapkan ,“ Seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turun wahyu, jika ia
meriwayatkan suatu berita tentang asbab An-Nuzul , riwayatnya itu berstatus
marfu’.”[5]
Berkaitan
dengan asbab An-Nuzul , ucapan seorang tabi’i tidak dipandang sebagai hadis
marfu’ , kecuali bila diperkuat oleh hadis mursal lainnya, yang diriwayatkan
oleh salah seorang imam tafsir yang dipastikan mendegar hadis itu dari Nabi.
Para imam tafsir itu di antaranya : Ikramah, Mujahid, Sa’ad Ibn Jubair, ‘Atha,
Hasan Bishri, Sa’id Ibn Masayyab dan Adh-Dhahhak.[6]
Banyak
sekali hadis asbabun nuzul yang diriwayatkan oleh para ulama , tetapi pelu
diketahui bahwa tidak semua hadis sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW.
dan shahih , melainkan ada juga yang mursal (dalam sanadnya nama sahabat yang
meriwayatkan langsung dari Nabi di buang) dan dha’if. Penyelidikan terhadap
hadis-hadis ini membuat orang meragukannya karena beberap alasan :
Pertama
, gaya kebanyakan hadis ini menunjukkan bahwa perawi tidak meriwayatkan asbabun
nuzul secara lisan dan tertulis, melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah,
kemudian menghubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan kisah itu. Pada hakikatnya ,
asbabun nuzul yang disebutkannya itu hanyalah didasarkan atas pendapat , bukan
atas pengamatan dan pencatatan.
Kedua
, pada masa awal islam, khalifah melarang penulisan hadis. Semua kertas dan
papan yang didapati memuat tulisan hadis dibakar. Larangan ini berlaku sampai
akhir abad pertama Hijrah, atau kurang lebih selama 90 tahun. Larangan ini
membuat para perawi meriwayatkan hadis menurut maknanya saja, sehingga hadis
mengalami perubahan-perubahan setiap kali seorang perawi meriwayatkannya kepada
perawi lain. Akibatnya , hadis yang diriwayatkan tidak menurut aslinya. Hal ini
akan sangat jelas bila kita telaah suatu kisah melalui beberapa jalur sanad,
karena boleh jadi terdapat dua hadis saling bertentangan tentang satu kisah.
Kebiasaan meriwayatkan hadis menurut maknanya dengan cara yang meragukan ini
merupakan salah satu penyebab tidak dapat dipertangggungjawabkannya hadis-hadis
tentang asbabbun nuzul.[7]
Adapun
jalan mengetahui asbabul nuzul , para ulama mengandalkan kesahihan riwayat dari
rasulullah saw. atau dari sahabat sebab berita sahabat tentang seperti ini adalah
hukum yang di marfu’kan. Ibnu Sholah
mengatakan dalam kitabnya , ‘ulumul hadist :
Ada
berita bahwa penafsiran seseorang sahabat adalah hadist musnad , hanyasanya
yang demikian dalam tafsir yang berkaitan dengan asbabul nuzul ayat yang
diberitakan oleh seorang sahabat atau semisalnya , seperti ucapan Jabir Radhiyallohu’anhu : orang Yahudi
mengatakan bahwa siapa yang mensenggamai isterinya lewat belakang sekalipun di
farjinya maka akan lahir anak bermata juling , kontan Allah menurunkan ayat
yang artinya “ isteri kalian adalah ladang
kalian” . Adapun seluruh penafsiran sahabat yang sama sekali tidak
disandarkan kepada Rasulullah SAW. adalah terhitung mauquf. Wallohu a’lam.[8]
Hal
ini menunjukkan bahwa tidak setiap riwayat tentang “asbab al-Nuzul” yang
dikemukakan oleh para sahabat dapat diterima begitu saja, tanpa pengecekan dan
penelitian lebih cermat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan
tentang “asbab al-Nuzul” suatu ayat merupakan pekerjaan yang sulit, sehingga
menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang beberapa riwayat
yang terkait dengannya. Al-Dahlawi mengidentifikasi sumber kesulitan dalam
riwayat “asbab al-Nuzul”, yaitu:
1. Adakalanya
kalangan sahabat atau tabi‘in mengemukakan suatu kisah ketika menjelaskan suatu
ayat. Tapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan
“asbab al-Nuzul”. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab
turunnya ayat tersebut;
2. Adakalanya
kalangan sahabat dan tabi‘in mengemukakan hukum suatu kasus dengan mengemukakan
ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat :
... كذا في نزل ت ; seolah-olah mereka
menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab turunnya ayat tersebut.
Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum dari Nabi Saw
tentang ayat yang dikemukakan tadi.
Oleh
karena itu, para ulama seperti Imam al-Hakim al-Naysaburi, Ibn al-Shalah, dan
ulama hadits lainnya menegaskan bahwa hadits yang menjadi sumber dalam riwayat
“asbab al-Nuzul” harus merupakan hadits marfu‘, bersambung sanadnya, dan shahih
dari sisi sanad maupun matan-nya.
Sedangkan
susunan atau bentuk redaksi dalam pengungkapan riwayat “asbab al-Nuzul”, secara
garis besar ada tiga macam, yaitu:
1. Bentuk
susunan redaksi yang disepakati oleh ulama menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul”
(al-muttafaq ‘ala al-i‘tidad bihi). Bentuk ini mengandung tiga unsur utama,
yaitu: pertama, sahabat yang mengemukakan riwayat harus menyebutkan suatu kisah
atau peristiwa yang yang menyebabkan turunnya ayat; Kedua, sahabat yang
mengemukakan riwayat harus mengemukakan dengan redaksi yang jelas (bi al-
lafzhi al-sharih) menunjukkan kepada pengertian “turunnya ayat”; dan Ketiga,
sahabat yang mengemukakan riwayat harus mengemukakan riwayatnya dengan pola
bahasa yang bersifat pasti, seperti ungkapan: “كذا آية فنزلت وكذا كذ حدث”,
atau
“ كذا ا الله فأنزل وكذ كذا حدث”.
Redaksi dalam bentuk tegas (sharih) dan pasti dalam pengungkapan “asbab
al-Nuzul” ini dapat berupa : adanya huruf fa’ (ف) yang bermakna al-sababiyah
atau ta‘qibiyah yang masuk pada riwayat yang berkaitan dengan turunnya ayat,
seperti: هذا... الآية فنزلت ...حدث ; adanya keterangan yang menjelaskan bahwa
Rasulullah Saw ditanya tentang sesuatu kemudian diikuti dengan turunnya ayat
sebagai jawabannya: ... الآية
فنزلت... كذا عن الله رسول سئل
2. Bentuk
susunan redaksi yang masih diperselisihkan dikalangan ulama untuk menunjukkan
kepada “asbab al-Nuzul” (al-mukhtalaf fi al-i‘tidad bihi wa ‘adamihi), karena
redaksi pengungkapannya masih bersifat muhtamilah (mengandung
kemungkinan). Dalam bentuk ini, perawi tidak menginformasikan dengan gamblang
adanya suatu kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, namun
hanya mengemukakan suatu riwayat dengan ungkapan “ ayat ini diturunkan tentang
masalah demikian” , yang demikian terkadang maksudnya asbabul nuzul ayat atau terkadang termasuk
makna ayat.[9]
3. Bentuk
susunan redaksi yang disepakati oleh ulama tidak menunjukkan kepada “asbab
al-Nuzul” (al-muttafaq ‘ala ’adami al-i‘tidad bihi). Bentuk susunan redaksi ini
ada dua macam, yaitu: Pertama, adakalanya si Perawi tidak mengungkapkan riwayat
dengan redaksi yang jelas menunjukkan kepada pengertian “turun” (shigat
al-Nuzul), namun mengemukakannya dengan redaksi lain, seperti lafaz qira’ah
atau tilawah. Misalnya, si Perawi mengatakan:
“..كذا
وسلم عليه الله صلى لنبيافتلا وأ… وسلم عليه الله صلى لنبي ا فقرأ كذا حدث”
Para ulama menilai bahwa pengungkapan
“qira’ah” atau “tilawah” setelah penyebutan adanya suatu kejadian (al-haditsah)
jelas menunjukkan bahwa suatu ayat pasti turun mengiringi kejadian atau
peristiwa tersebut. Padahal dalam kenyataan berdasarkan ungkapan redaksi itu
sendiri, jelas menunjukkan ayat yang dibaca oleh Nabi Saw sudah turun sebelum terjadinya
peristiwa dimaksud. Atau bisa jadi pembacaan Nabi Saw akan ayat tersebut
sebagai penjelasan penguat dari ayat yang turun lebih dahulu yang memiliki
hubungan yang kuat dengan ayat yang dibacakan Nabi Saw ketika ada suatu
kejadian.
Kedua,
adakalanya si Perawi mengungkapkan redaksi riwayatnya dengan pola bahasa yang
tidak secara pasti menunjukkan kepada sebab turunnya ayat, namun mempergunakan
pola bahasa yang mengandung “dugaan” atau “perkiraan” semata. Misalnya, si
Perawi mengatakan:
... فيه نزلت ية الآ هذه ن أ فأظن اكذ حدث
atau ... فيه نزلت الآية ن أ فأحسب اكذ حدث
atau
... كذا في إلا نزلت الآية
هذه ن أظنأ ما وأ أحسب ما
Pola
redaksi semacam ini menunjukkan bahwa si Perawi memahami suatu riwayat yang
menunjukkan kepada sebab turunnya ayat hanya berdasarkan indikator berupa
situasi dan kondisi konteks semata (qara’in al-ahwal) yang bersifat sangat
spekulatif (dugaan). Dan hal itu jelas tidak menunjukkan kepada keterlibatan si
Perawi dalam menyaksikan langsung peristiwa turunnya ayat (musyahadah) atau
mendengarkan informasinya dari orang yang menyaksikan secara langsung tersebut
(sima’i).
Para
ulama memberikan catatan bahwa redaksi seperti ini dapat diterima apabila ada
riwayat lain yang menunjukkan hal yang sama, tapi dengan lafaz redaksi yang
bersifat pasti (bukan dugaan dan persangkaan semata) sebagaimana dalam bentuk
yang disepakati oleh para ulama untuk menunjukkan kepada sebab turunnya ayat.
·
Manfaat Mengetahui Asbabun Nuzul
Menurut
sebagian ulama ada beberapa manfaat mengetahui dan memahami riwayat asbabun
nuzul. Diantara ulama yang berpendapat seperti itu adalah :
1. Ibnu
Al-Daqiq ( w. 702 H )
Ibnu
Al-Daqiq menyatakan banhwa mengetahui
asbabun nuzul ayat merupakan metode yang utama dalam memahami pesan yang
terkandung galam al-quran.
2. Ibnu
Taimiyah ( w. 726 H )
Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa mengetahui asbabun nuzul akan akan membantu dalam
memahami ayat Al-Quran , karena mengetahui sebab berarti juga mengatahui
musabab.
3. Al-Wahidi
( w. 427 H )
Al-Wahidi
menyatakan sebagaimana dikutip oleh As-Suyuthi bahwa tidak mungkin seseorang
dapat menafsirkan suatu ayat tanpa mengatahui sejarah turunya dan latar
belakang masalahnya.[10]
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar , Rosihon. 2007.
Ulum Al- Quran. Bandung : Pustaka Setia
Thabathaba’i Allamah M.H . 2005 . Mengungkap Rahasia Al-Quran . Bandung : Mizan.
Hadi Alwadi’i , Syaikh Muqbil . 2006 . Shahih Asbabun Nuzul . Yogyakarta : Islamic.
Anwar, Abu. 2015 .
Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar . Pekanbaru : Amzah.
[1] Az-Zarqany, op. cit., hlm. 113-114;
Ash-Shabuny, op. cit., hlm. 23; Shalih, op. cit., hlm. 135.
[2] Az-Zarqani, op. cit., hlm. 114.
3 As-Suyuthi,
op. cit., hlm. 52.
[4] Ibid., hlm. 52
[5] Ibid., hlm. 52 dan 229
[6] Ibid., hlm. 557.
[7] Alamah M.H. Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia Al-Quran, Mizan,
2005, hlm. 121-123
[9] Ibid., hlm. 30.
0 komentar:
Posting Komentar