Minggu, 08 Oktober 2017

RIWAYAT ASBABUN NUZUL



NAMA            :    ANDARI FILNA JESIKA

NIM                :    160103068

KELAS           :    I.C

JURUSAN      :    PENDIDIKAN MATEMATIKA


CARA MENGETAHUI RIWAYAT ASBABUN NUZUL

·         Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Aisyah pernah mendengar ketika Khaulah binti Sa’labah mempertanyakan suatu hal kepada nabi bahwasannya dia dikenakan zihar oleh suaminya Aus bin Samit katanya: “ Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepadaku”. Ya allah sesunguhnya aku mengadu kepadamu, aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini; sesungguhnya allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni Aus bin Samit. Hal ini tidak berarti sebagai acuan bagi setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat , karena tidak semua ayat Qur’an diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dalam kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan social.
Sahabat Ali ibn Mas’ud dan lainnya, tentu tidak satu ayat pun diturunkan kecuali salah seorang mereka mengetahui tentang apa ayat itu diturunkan. Intensitas para sahabat mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti perjalanan turunnya wahyu, mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan hal-hal yang berhubungan serta mereka juga melestarikan sunah nabi.
Asbabun Nuzul dengan hadist mursal, yaitu hadist yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti Mujahid, Hikmah dan Said bin Jubair. para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat menerima hasil nalar dan ijtihad dalam masalah ini, namun tampaknya pandangan mereka tidak selamanya berlaku secara mutlak, tidak jarang pandangan terhadap riwayat-riwayat asbabun nuzul bagi ayat tertentu berbeda-beda yang kadang-kadang memerlukan Tarjih ( mengambil riwayat yang lebih kuat ) untuk melakukan tarjih diperlukan analisis dan ijtihad.

·         Cara Mengetahui Riwayat Asbabun Nuzul
Asbab An-Nuzul adalah peristiwa sejarah yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak boleh ada cara lain untuk mengetahuinya, selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql ash-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran.[1] Dengan demikian, seperti halnya periwayatan pada umumnya, diperlukan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan asbab An-Nuzul. Untuk itu, dalam kitab Asbab An-Nuzul-nya , Al-Wahidy menyatakan :
Artinya : “ Pembicaraan asbab An-Nuzul, tidak dibenarkan, kecuali dengan berdasarkan riwayat dan mendengar dari meraka yang secara langsung menyaksikan peristiwa nuzul, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”[2]
      Para ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbab An-Nuzul. Keketatan mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi) , sumber riwayat (isnad) dan redaksi berita (matan). Bukti keketatan itu diperlihatkan oleh Ibn Sirin ketika menceritakan pengalamannya sendiri :
Artinya :  “ Aku pernah bertanya kepada Ubadah tentang sebuah ayat Al-Quran, tetapi ia menjawab, ‘Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah dan berbicaralah yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa ayat Al-Quran diturunkan sudah tidak ada lagi.”[3]
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sikap kekritisan mereka tidak dikenakan terhadap materi asbab An-Nuzul yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi. Mereka berasumsi bahwa apa yang dikatakan sahabat Nabi , yang tidak masuk dalam lapangan penukilan dan pendenganran , dapat dipastikan ia mendengar ijtihadnya sendiri.[4] Karena itu pula , Ibn Shalah , Al-Hakim , dan para ulama hadis lainnya menetapkan ,“ Seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turun wahyu, jika ia meriwayatkan suatu berita tentang asbab An-Nuzul , riwayatnya itu berstatus marfu’.”[5]
Berkaitan dengan asbab An-Nuzul , ucapan seorang tabi’i tidak dipandang sebagai hadis marfu’ , kecuali bila diperkuat oleh hadis mursal lainnya, yang diriwayatkan oleh salah seorang imam tafsir yang dipastikan mendegar hadis itu dari Nabi. Para imam tafsir itu di antaranya : Ikramah, Mujahid, Sa’ad Ibn Jubair, ‘Atha, Hasan Bishri, Sa’id Ibn Masayyab dan Adh-Dhahhak.[6]
Banyak sekali hadis asbabun nuzul yang diriwayatkan oleh para ulama , tetapi pelu diketahui bahwa tidak semua hadis sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. dan shahih , melainkan ada juga yang mursal (dalam sanadnya nama sahabat yang meriwayatkan langsung dari Nabi di buang) dan dha’if. Penyelidikan terhadap hadis-hadis ini membuat orang meragukannya karena beberap alasan :
Pertama , gaya kebanyakan hadis ini menunjukkan bahwa perawi tidak meriwayatkan asbabun nuzul secara lisan dan tertulis, melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah, kemudian menghubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan kisah itu. Pada hakikatnya , asbabun nuzul yang disebutkannya itu hanyalah didasarkan atas pendapat , bukan atas pengamatan dan pencatatan.
Kedua , pada masa awal islam, khalifah melarang penulisan hadis. Semua kertas dan papan yang didapati memuat tulisan hadis dibakar. Larangan ini berlaku sampai akhir abad pertama Hijrah, atau kurang lebih selama 90 tahun. Larangan ini membuat para perawi meriwayatkan hadis menurut maknanya saja, sehingga hadis mengalami perubahan-perubahan setiap kali seorang perawi meriwayatkannya kepada perawi lain. Akibatnya , hadis yang diriwayatkan tidak menurut aslinya. Hal ini akan sangat jelas bila kita telaah suatu kisah melalui beberapa jalur sanad, karena boleh jadi terdapat dua hadis saling bertentangan tentang satu kisah. Kebiasaan meriwayatkan hadis menurut maknanya dengan cara yang meragukan ini merupakan salah satu penyebab tidak dapat dipertangggungjawabkannya hadis-hadis tentang asbabbun nuzul.[7]
Adapun jalan mengetahui asbabul nuzul , para ulama mengandalkan kesahihan riwayat dari rasulullah saw. atau dari sahabat sebab berita sahabat tentang seperti ini adalah hukum yang di marfu’kan. Ibnu Sholah mengatakan dalam kitabnya , ‘ulumul hadist :
Ada berita bahwa penafsiran seseorang sahabat adalah hadist musnad , hanyasanya yang demikian dalam tafsir yang berkaitan dengan asbabul nuzul ayat yang diberitakan oleh seorang sahabat atau semisalnya , seperti ucapan Jabir Radhiyallohu’anhu : orang Yahudi mengatakan bahwa siapa yang mensenggamai isterinya lewat belakang sekalipun di farjinya maka akan lahir anak bermata juling , kontan Allah menurunkan ayat yang artinya “ isteri kalian adalah ladang kalian” . Adapun seluruh penafsiran sahabat yang sama sekali tidak disandarkan kepada Rasulullah SAW. adalah terhitung mauquf. Wallohu a’lam.[8]
Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap riwayat tentang “asbab al-Nuzul” yang dikemukakan oleh para sahabat dapat diterima begitu saja, tanpa pengecekan dan penelitian lebih cermat.  Hal ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan tentang “asbab al-Nuzul” suatu ayat merupakan pekerjaan yang sulit, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang beberapa riwayat yang terkait dengannya. Al-Dahlawi mengidentifikasi sumber kesulitan dalam riwayat “asbab al-Nuzul”, yaitu:
1.      Adakalanya kalangan sahabat atau tabi‘in mengemukakan suatu kisah ketika menjelaskan suatu ayat. Tapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu merupakan “asbab al-Nuzul”. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan sebab turunnya ayat tersebut;
2.      Adakalanya kalangan sahabat dan tabi‘in mengemukakan hukum suatu kasus dengan mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat :
 ... كذا في نزل ت ; seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab turunnya ayat tersebut. Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum dari Nabi Saw tentang ayat yang dikemukakan tadi.
Oleh karena itu, para ulama seperti Imam al-Hakim al-Naysaburi, Ibn al-Shalah, dan ulama hadits lainnya menegaskan bahwa hadits yang menjadi sumber dalam riwayat “asbab al-Nuzul” harus merupakan hadits marfu‘, bersambung sanadnya, dan shahih dari sisi sanad maupun matan-nya.
Sedangkan susunan atau bentuk redaksi dalam pengungkapan riwayat “asbab al-Nuzul”, secara garis besar ada tiga macam, yaitu:
1.      Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-muttafaq ‘ala al-i‘tidad bihi). Bentuk ini mengandung tiga unsur utama, yaitu: pertama, sahabat yang mengemukakan riwayat harus menyebutkan suatu kisah atau peristiwa yang yang menyebabkan turunnya ayat; Kedua, sahabat yang mengemukakan riwayat harus mengemukakan dengan redaksi yang jelas (bi al- lafzhi al-sharih) menunjukkan kepada pengertian “turunnya ayat”; dan Ketiga, sahabat yang mengemukakan riwayat harus mengemukakan riwayatnya dengan pola bahasa yang bersifat pasti, seperti ungkapan: “كذا آية فنزلت وكذا كذ حدث”,  atau                    
كذا ا الله فأنزل وكذ كذا حدث”. Redaksi dalam bentuk tegas (sharih) dan pasti dalam pengungkapan “asbab al-Nuzul” ini dapat berupa : adanya huruf fa’ (ف) yang bermakna al-sababiyah atau ta‘qibiyah yang masuk pada riwayat yang berkaitan dengan turunnya ayat, seperti: هذا... الآية فنزلت ...حدث ; adanya keterangan yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw ditanya tentang sesuatu kemudian diikuti dengan turunnya ayat sebagai jawabannya:  ... الآية فنزلت... كذا عن الله رسول سئل
2.      Bentuk susunan redaksi yang masih diperselisihkan dikalangan ulama untuk menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-mukhtalaf fi al-i‘tidad bihi wa ‘adamihi), karena redaksi pengungkapannya masih bersifat  muhtamilah (mengandung kemungkinan). Dalam bentuk ini, perawi tidak menginformasikan dengan gamblang adanya suatu kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, namun hanya mengemukakan suatu riwayat dengan ungkapan “ ayat ini diturunkan tentang masalah demikian” , yang demikian terkadang maksudnya  asbabul nuzul ayat atau terkadang termasuk makna ayat.[9]
3.      Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama tidak menunjukkan kepada “asbab al-Nuzul” (al-muttafaq ‘ala ’adami al-i‘tidad bihi). Bentuk susunan redaksi ini ada dua macam, yaitu: Pertama, adakalanya si Perawi tidak mengungkapkan riwayat dengan redaksi yang jelas menunjukkan kepada pengertian “turun” (shigat al-Nuzul), namun mengemukakannya dengan redaksi lain, seperti lafaz qira’ah atau tilawah. Misalnya, si Perawi mengatakan:                                 
“..كذا وسلم عليه الله صلى لنبيافتلا وأ… وسلم عليه الله صلى لنبي ا فقرأ كذا حدث”
 Para ulama menilai bahwa pengungkapan “qira’ah” atau “tilawah” setelah penyebutan adanya suatu kejadian (al-haditsah) jelas menunjukkan bahwa suatu ayat pasti turun mengiringi kejadian atau peristiwa tersebut. Padahal dalam kenyataan berdasarkan ungkapan redaksi itu sendiri, jelas menunjukkan ayat yang dibaca oleh Nabi Saw sudah turun sebelum terjadinya peristiwa dimaksud. Atau bisa jadi pembacaan Nabi Saw akan ayat tersebut sebagai penjelasan penguat dari ayat yang turun lebih dahulu yang memiliki hubungan yang kuat dengan ayat yang dibacakan Nabi Saw ketika ada suatu kejadian.
Kedua, adakalanya si Perawi mengungkapkan redaksi riwayatnya dengan pola bahasa yang tidak secara pasti menunjukkan kepada sebab turunnya ayat, namun mempergunakan pola bahasa yang mengandung “dugaan” atau “perkiraan” semata. Misalnya, si Perawi mengatakan:
 ... فيه نزلت ية الآ هذه ن أ فأظن اكذ حدث atau ... فيه نزلت الآية ن أ فأحسب اكذ حدث
atau     ... كذا  في إلا نزلت الآية هذه ن أظنأ ما وأ أحسب ما
Pola redaksi semacam ini menunjukkan bahwa si Perawi memahami suatu riwayat yang menunjukkan kepada sebab turunnya ayat hanya berdasarkan indikator berupa situasi dan kondisi konteks semata (qara’in al-ahwal) yang bersifat sangat spekulatif (dugaan). Dan hal itu jelas tidak menunjukkan kepada keterlibatan si Perawi dalam menyaksikan langsung peristiwa turunnya ayat (musyahadah) atau mendengarkan informasinya dari orang yang menyaksikan secara langsung tersebut (sima’i).
Para ulama memberikan catatan bahwa redaksi seperti ini dapat diterima apabila ada riwayat lain yang menunjukkan hal yang sama, tapi dengan lafaz redaksi yang bersifat pasti (bukan dugaan dan persangkaan semata) sebagaimana dalam bentuk yang disepakati oleh para ulama untuk menunjukkan kepada sebab turunnya ayat.
·         Manfaat Mengetahui Asbabun Nuzul
Menurut sebagian ulama ada beberapa manfaat mengetahui dan memahami riwayat asbabun nuzul. Diantara ulama yang berpendapat seperti itu adalah :
1.      Ibnu Al-Daqiq ( w. 702 H )
Ibnu Al-Daqiq  menyatakan banhwa mengetahui asbabun nuzul ayat merupakan metode yang utama dalam memahami pesan yang terkandung galam al-quran.
2.      Ibnu Taimiyah ( w. 726 H )
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mengetahui asbabun nuzul akan akan membantu dalam memahami ayat Al-Quran , karena mengetahui sebab berarti juga mengatahui musabab.
3.      Al-Wahidi ( w. 427 H )
Al-Wahidi menyatakan sebagaimana dikutip oleh As-Suyuthi bahwa tidak mungkin seseorang dapat menafsirkan suatu ayat tanpa mengatahui sejarah turunya dan latar belakang masalahnya.[10]










DAFTAR PUSTAKA
Anwar , Rosihon. 2007. Ulum Al- Quran. Bandung : Pustaka Setia
Thabathaba’i Allamah M.H . 2005 . Mengungkap Rahasia Al-Quran . Bandung : Mizan.
Hadi Alwadi’i , Syaikh Muqbil . 2006 . Shahih Asbabun Nuzul . Yogyakarta : Islamic.
Anwar, Abu. 2015 . Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar . Pekanbaru : Amzah.










[1]  Az-Zarqany, op. cit., hlm. 113-114; Ash-Shabuny, op. cit., hlm. 23; Shalih, op. cit., hlm. 135.
[2]  Az-Zarqani, op. cit., hlm. 114.
3  As-Suyuthi, op. cit., hlm. 52.

[4]  Ibid., hlm. 52
[5]  Ibid., hlm. 52 dan 229
[6]  Ibid., hlm. 557.
[7]  Alamah M.H. Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia Al-Quran, Mizan, 2005, hlm. 121-123
[8]  Syaikh Muqbil bin Hadi Alwadi’I, Shahih Asbabun Nuzul,  Islamic, 2006 , hlm. 27
[9]  Ibid., hlm. 30.
[10]  Abu Anwar , Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar , Amzah , 2015,  hlm. 35

0 komentar:

Posting Komentar

 

Math Proof Template by Ipietoon Cute Blog Design