INTELIGENSI
Ø Pengertian
Intelegensi
-
Menurut bahasa Intelegensi diartikan
sebagai kemampuan umum dalam memahami hal-hal yang abstrak.[1]
-
Menurut istilah Intelegensi dapat
didefinisikan sebagai kesanggupan seseorang untuk beradaptasi dalam berbagai
situasi dan dapat diabstraksikan pada suatu kualitas yang sama. Disamping itu,
ada beberapa tokoh dalam memberikan pemahaman intelegensi, yaitu :
a. Stern
, adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi baru.
b. Terman
, yaitu kesanggupan untuk belajar secara abstrak.
c. Dearborn
, adalah kesanggupan untuk belajar dari pengalaman.
d. Binet
, yaitu pengertian penemuan sesuatu yang baru , ketetapan hati dan pengeritikan
diri sendiri.
e. Thurstone,
yaitu suatu kesanggupan secara keseluruhan, meliputi sejumlah kesangguapan
khusus atau disebut primery mental abilities sebagai kesanggupan untuk cepat
dan teliti melihat sesuatu akan kesamaan dan perbedaan, juga kesanggupan untuk
mengerti dan memakai bahasa kesanggupan untuk berfikir secara deduktif dan
induktif dan lain-lain.
Bertolak
dari beberapa pengertian tersebut, maka kesanggupan seseorang untuk beradaptasi
dalam berbagai situasi dan dapat diabstraksikan pada suatu kualitas yang sama
disebut intelegensi. Dengan demikian, intelegensi bukan suatu kekuatan atau
suatu daya melainkan suatu pengertian atau konsep. Dengan kata lain,
intelegensi merupakan perbuatan ataupun aktivitas atau reaksi di bidang mental
dan fisik dijalankan secara cepat, gampang, serasi atau sempurna dapat diukur
dengan prestasi.[2]
Rasulullah saw. mendefinisikan kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis,
sebagaimana dalam hadits berikut yang artinya : “ Dari Syaddad Ibn Aus, dan Rasulullah saw. Bersabda : orang yang cerdas
adalah orang yang merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan sesudah mati.
(H.R. At-Tirmidzi)ˮ.
Ø Pengukuran
Intelegensi
Semenjak
para ahli psikologi mulai mengadakan cara pendekatan secara empiris, maka
pengukuran intelegensi telah banyak menarik para ahli, terlebih-lebih setelah
gerakan pengukuran dalam lapangan psikologi maju dengan pesat. Dalam pembahasan
mengenai pengukuran intelagensi ini pada hemat penulis jalan yang paling baik
ialah secara historis, jadi mengemukakan sejarah usaha para ahli dalam bidang
ini, yang sekaligus juga menunjukkan teknik-teknik yang dipergunakan dalam
penyelidika atau pengukuran inteligensi , serta penilaian mengenai usaha-usaha
tersubut.
Kalau kita menempuh cara historis ini, maka secara teknis dapat
kita lalui dua jalan, yaitu:
1) Mengemukakan
sejarah perkembangan usaha para ahli dalam bidang ini, dengan maksud memberikan
gambaran yang bersifat umum mengenai persoalannya, dan
2) Mengemukakan
sejarah perkembangan tes intelegensi model Binet, karena model inilah sampai
dewasa ini dianggap oleh kebanyakan ahli sebagai yang paling baik, dan
karenanya juga yang paling banyak dipakai, terutama untuk menyelidiki anak-anak
yang masih muda .[3]
Pengukuran
test Intelegensi secara umum, dalam hal ini mengalami beberapa fase (Suryabrata, 1995:140-150), antara lain :
a. Fase
persiapan, hal ini terjadi kurang lebih sampai tahun 1915. Pada saat itu para
ahli sedang berusaha untuk mendapatkan model atau bentuk yang akan digunakan
untuk test intelegensi, dan usaha yang diperolehnya baru bersifat konsep.
Karena itu, (konsep) belum dapat diterapkan atau diaplikasikan ketika akan
melakukan test intelegensi.
b. Fase
naïf, atau pengguna test intelegensi yang sudah tersusun tanpa adanya kritikan.
Perlu diketahui, bahwa fase ini terjadi ± tahun 1915 hingga ± tahun 1935,
dimana para ahli berupaya untuk menggunakan hasil rancangan test intelegensi
yang sudah tersusun dalam berbagai hal kehidupan, sesuai dengan ruang lingkup
yang akan dibahas dalam test tersebut.
c. Fase
mencari test yang bebas dari pengaruh kebudayaan melalui bahasa, fase ini
diprakarsai oleh Goodenoungh dan Porteus. Setelah sekian lama test intelegensi
yang bersifat naïf telah dilakukan, maka timbul untuk mengevaluasinya. Sebagai
hasilnya, bahwa hasil test intelegensi bukanlah suatu hal yang serba
menentukan, tetapi masih banyak kelemahan-kelemahannya, terutama berasal dari
pengaruh kebudayaan melalui bahasa. Untuk mengatasinya, maka para ahli berupaya
untuk membuat model test intelegensi yang bebas dari kebudayaan sehingga unsure
kebudayaan (melalui bahasa) sama sekali tidak menghambatnya.
d. Fase
kritis atau masa sekarang, terjadi sejak ± tahun 1950 hingga sekarang. Setelah
berbagai cara dilakukan dalam memberikan bentuk test intelegensi mengalami
kegagalan, maka para ahli tetap berupaya untuk mendesainnya sebagai alat untuk
mengukur kemampuan seseorang meskipun sangat terbatas kegunaannya dan masih ada
kelemahan-kelemahannya.[4]
v Test
Intelegensi Model Binet
Dalam
hal ini ada 2 tokoh yang berhasil dalam mengembangkan suatu cara penyusunan
pengukuran inteligensi , yaitu Alfred Binet dan St. Simon. Ide ini telah
dirintis sejak tahun 1890 oleh Alfred Simon, dan hasil yang dicapainya pada
tahun 1905 meskipun belum sempurna. Untuk mengembangkan hasil test inteligensi
yang lebih sempurna, maka Alfred dibantu oleh St.Simon yang hasil penyempurnaannya
diterbitkan pada tahun 1908 dengan sebutan lebih dikenal test Binet-Simon. Test
ini dengan memperhitungkan :
a. Umur
Kronologis ( chronological age disingkat C.A ) yaitu umur seseorang yang
sebenarnya atau menurut hari kelahirannya atau lamanya yang bersangkutan hidup.
b. Umur
Mental ( mental age disingkat M.A ) yaitu umur kecerdasan yang ditunjuk sebagai
hasil test kemampuan akademik.
Adapun
cara yang digunakan dalam pengukuran intelegensi seseorang pada golongan
normal, dibawah normal atau diatas normal dengan menggunakan pedoman selisih
tetap.
Artinya
(apabila) M.A.nya 3 tahun diatas atau dibawah dari C.A., maka M.A.nya
dinyatakan normal. Untuk memahami pedoman tersebut, perhatikan contoh sebagai
berikut :
Ahmad
berusia 7 tahun, setelah ditest I.Q. ternyata dia hanya mampu menyelesaikan
soal untuk usia 4 tahun atau 3 tahun (M.A.nya). Dengan demikian, penggolongan
I.Q.nya dibawah normal. Tetapi bila ahmad M.A.nya berusia 6 tahun atau 5 tahun
(selisih 1 atau 2 tahun), maka dia termasuk golongan anak yang normal.
Bertolak
dari hasil ini, maka cara pengukuran I.Q.( intelegensi) disempurnakan lagi pada
tahun 1911 dengan nama test intelegensi Binet-Simon yang dipakai sampai
sekarang. Adapun cara baru yang digunakan dengan menggunakan pedoman
perbandingan tetap, antara umur kronologis (C.A.) dengan umur mental (M.A.)
seseorang. Dengan demikian, tingkat intelegensi ditentukan dengan perbandingan
kecerdasan ( umur mental dibandingkan dengan umur kronologis ) disebut I.Q
(Intellegence Quotient) dengan rumus :
I.Q
= M.A. : C.A.
Rumus
ini biasanya memperoleh nilai bilangan pecahan dan hasilnya kemungkinan terjadi
kekeliruan. Untuk memperoleh dan memudahkan hasilnya, maka rumus tersebut
diperbanyak suatu nilai (100%) yang tidak mengubah perbandingannya, sehingga menjadi
rumus sebagai berikut : [5]
I.Q.
=
Tes
Binet direvisi berkali-kali untuk disesuaikan dengan kemajuan dalam pemahaman
inteligensi dan tes inteligensi. Revisi-revisi ini disebut Standford-Binet
(sebab revisi itu dilakukan di Stanford University). Dengan melakukan tes untuk
banyak orang dari usia yang berbeda dan latar belakang yang beragam, peneliti
menemukan bahwa skor pada tes Stanford-Binet mendekati distribusi normal. Test
Stanford-Binet kini dilakukan secara individual untuk orang dari usia 2 tahun
hingga dewasa. Tes ini banyak memuat item, beberapa diantaranya membutuhkan
jawaban verbal, yang lainnya respons nonverbal. Misalnya, item yang
mencerminkan level kinerja usia 6 tahun pada test itu adalah tes kemampuan
verbal untuk mendefinisikan setidaknya 6 kata, seperti jeruk dan amplop, dan
kemampuan nonverbal untuk menelusuri suatu jalur yang ruwet. Item yang
merefleksikan level kinerja dewasa antara lain tes pendefinisian kata seperti
disproporsional dan hormat, tes menjelaskan pepatah, dan membandingkan antara
pengangguran dan kemalasan.[6]
Edisi
keempat tes Standford-Binet dipublikasikan pada 1985. Salah satu penambahan
penting pada versi ini adalah analisis respon individual dari segi empat fungsi
: penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, dan memori
jangka pendek. Skor komposit umum masih dipakai untuk mengetahui keseluruahan
inteligensi.[7]
Materi yang terdapat
dalam skala Stanford–Binet berupa sebuah kotak berisi bermacam-macam benda
mainan tertentu yang akan disajikan pada anak-anak, dua buah buku kecil yang
memuat cetakan kartu-kartu, sebuah buku catatan untuk mencatat jawaban dan
skornya, dan sebuah petunjuk pelaksanaan pemberian tes. Tes-tes dalam skala ini
dikelompokkan menurut berbagai level usia, mulai dari usia 2 tahun sampai
dengan usia dewasa. Dalam masing-masing tes untuk setiap level usia berisi
soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh berbeda. Skala Stanford–Binet
dikenakan secara individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh
pemberi tes. Skala ini tidak cocok untuk dikenakan pada orang dewasa, sekalipun
terdapat level usia dewasa dalam tesnya, karena level tersebut merupakan level
intelektual dan dimaksudkan hanya sebagai batas-batas usia mental yang mungkin
dicapai oleh anak-anak. Versi terbaru skala Stanford-Binet diterbitkan pada
tahun 1986. Dalam revisi terakhir ini konsep intelegensi dikelompokkan menjadi
empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes yaitu
sebagai berikut : [8]
INTELEGENSI
Penalaran
verbal
|
Penalaran
kuantitatif
|
Penalaran
visual
abstrak
|
Penalaran
jangka
pendek
|
Kosakata
|
Tes
kuantitatif
|
Melipat kertas
|
Memori kalimat
|
Keganjilan
|
Rangkaian
angka
|
Mengkopi
|
Memori sajian
urutan benda
|
Bertoalak dari rumus tersebut, maka ada beberapa ha yang
harus diperhatikan oleh para pendidik ketika akan megajukan beberapa pertanyaan
yang harus dijawab oleh para peserta didik atau criteria aktifitas yang
dilakukan, antara lain :
1) Soal
yang harus dijawab oleh peserta didik harus mempunyai tingkat kesulitan,
dimulai dari tingkat yang termudah sampai tersulit. Begitu juga bila
persoalannya berbentuk perbuatan atau aktivitas, maka aktivitas yang dikerjakan
pun harus berjenjang, sesuai dengan tingkatan anak usia didik.
2) Soal
yang harus dijawab atau aktvitas yang dilakukan oleh peserta didik , hendaknya
serasi , setujuan, dan ekonomis (waktu). Maksudnya , ketika anak didik akan
menjawab beberapa pertanyaan atau melakukan kegiatan yang sudah ditentukan,
maka mereka tidak dapat melakukan / menjawab secara sembarangan, tetapi tetap
membaca dan memahami soal lebih dahulu, selanjutnya memberikan jawaban sesuai
dengan pertanyaannya.
3) Jawaban
dari beberapa soal yang terjawab sedikit banyak harus menunjukkan keaslian
kemampuan yang dimilikinya, baik melaui pengetahuan dan pengalaman yang
disampaikan melaui lisan atau tertulis. Tentunya pengetahuan dan pengalaman
dapat dimanfaatkan, bukan hanya bersifat menghafal meniru-niru orang lain,
melaikan dapat menemukan jalan keluarnya, serta dapat menyesuaikan diri pada
situasi yang baru.
4) Soal-soal
yang harus dijawab atau aktivitas yang dilakukan kerapkali mempergunakan daya
mengabstaksikan, sehingga berbagai tanggapan dan ingatan sangat diperlukan
kehadirannya.
5) Jawaban
atau aktivitas yang dilakukan harus disertai dengan pengendalian (seperti
perasaan iba, simpati, acuh tak acuh, antipasti dan lain-lain), hal ini
merupakan penggerak dari perbuatan ( baik atau jelek) manusia. Oleh karena itu,
unsure objektif dalam menjawab pertanyaan atau aktivitas yang dikerjakan sangat
diperlukan bila menginginkan jawaban atau aktivitas yang lebih mengandalkan
I.Q, sehingga unsure perasaan lebih dijauhi.
6) Jawaban
atau aktivitas yang dikerjakan selalu memerlukan pemusatan perhatian, sehingga
dapat terselesaikan persoalan yang dihadapinya, terlebih pada persoalan yang
dianggap sulit dan memerlukan perhatian yang khusus.[9]
Tingkatan
Intelegensi :
Bertolak pada
model pengukuran diatas , maka intelegensi dalam ukuran kemampuan intelektual
atau tataran kognitif atau kecerdasan yang mempengaruhi individu dalam belajar
atau meraih kesuksesan dalam dalam hidupnya dapat dikelompokkan menjadi
beberapa tingkatan. Untuk mengetahui penjelasan lebih rinci, akan dijelaskan
dalam table berikut ini[10] :
Pendapat
Minn, N.L.( dalam Mangkunegara, 1993:32)
NO
|
IQ
(
Intelligence Question )
|
TARAF
INTELEGENSI
|
1
|
140
– ke atas
|
Jenius
( very superior )
|
2
|
130
– 139
|
Sangat
cerdas ( very superior or gifted )
|
3
|
120
– 129
|
Cerdas
( superior )
|
4
|
110
– 119
|
Di
atas normal ( high average or above average )
|
5
|
90
– 109
|
Normal
( normal or average )
|
6
|
80
– 89
|
Di
bawah normal ( low normal or below average )
|
7
|
70
– 79
|
Bodoh
( dull ar borderline defective )
|
8
|
50
– 69
|
Terbelakang
( maron or debil )
|
9
|
49
ke bawah
|
Terbelakang
( imbecile or idiot )
|
v Test
Intelegensi Model Wechsler
Dengan
makin populernya tes inteligensi sebagai alat untuk mengetahui ( mengukur )
perbedaan antara individu yang satu dan individu yang lain yang dipandang dari
segi intelegensi, maka makin terasalah kebutuhan akan adanya tes intelegensi
yang sesuai untuk mentes orang dewasa, dan ini mendorong banyak ahli untuk
berusaha menyusunnya.
Tes yang telah populer , yaitu tes Binet,
tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, karena tes Binet memang disusun untuk
anak-anak, walaupun ada juga item-item yang dimaksudkan untuk digunakan pada
orang dewasa. Kecuali itu memang ada hal-hal pada inteligensi orang dewasa yang
belum masuk perhitungan pada tes Binet, seperti misalnya hal “ menurunnya
inteligensiˮ. Gejala ini, yang oleh Wechsler disebut mental deterioration tidak dapat dilayani (diperhatikan) apabila
orang mempergunakan tes Binet yang hanya mempunyai satu jenis skala untuk orang
dewasa. Kecuali itu menurut Wechsler skala umur juga kurang memadai. Karena
itulah maka disusun skala yang khusus untuk orang dewasa yang mempergunakan
skala nilai[11].
Tes
lainnya yang banyak dipakai untuk menilai intelegensi dinamakan skala Wechsler
yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini mencakup Wechsler Preschool and
Primary Scale of Intelligence-Revised (WPPSI-R) untuk menguji anak 4 sampai 6 ½
tahun; Wechsler Intelligence Scale for Children-Revised (WISC-R) untuk anak dan
remaja dari usia 6 hingga 16 tahun dan Wechsler Adult Intelligence
Scale-Revised (WAIS-R). Selain menunjukkan IQ keseluruhan, skala Wechsler juga
menunjukkan IQ verbal dan IQ kinerja. IQ verbal didasarkan pada enam subskala
verbal, IQ kinerja didasarkan pada lima subskala kinerja. Ini membuat peneliti
bisa melihat dengan cepat pola-pola kekuatan dan kelemahan dalam area
intelegensi yang berbeda-beda (Woolger, 2001). [12]
Wechsler Adult
Intelligence Scale (WAIS)
WAIS
merupakan alat pemeriksaan intelegensi yang bersifat individu. WAIS merupakan
alat tes yang paling populer karena paling banyak digunakan di dunia saat ini.
Semula bernama Wechsler Bellevue Intellegence Scale (WBIS). Tes
intellegensi ini (WAIS) memiliki enam subtes
yang terkombinasikan dalam bentuk skala pengukuran ketrampilan verbal dan lima subtes membentuk suatu skala
pengukuran ketrampilan tindakan.
Tabel 2. Subtes dalam WAIS – R versi 1981
Skala Verbal
|
Skala Performansi
|
Information
(informasi)
Digit
Span (rentang angka)
Vocabulary
(kosakata)
Arithmetic
(hitungan)
Comprehension
(pemahaman)
Similarities
(kesamaan)
|
Picture
completion (kelengkapan gambar)
Picture
arrangement (susunan gambar)
Block
design (rancangan balok)
Object
assembly (perakitan objek)
Digit
symbol (simbol angka)
|
The
Wechsler Intelligence Scale for Children – Revised (WISC – R)
Revisi skala WISC yang dinamai WISC-R diterbitkan tahun 1974 dan
dimaksudkan untuk mengukur intelegensi anak-anak usia 6 sampai dengan 16 tahun,
sebagaimana penggunaan WISC generasi terdahulu. WISC-R terdiri atas 12 subtes
yang dua diantaranya digunakan hanya sebagai persediaan apabila diperlukan
penggantian subtes. Keduabelas subtes tersebut dikelompokkan menjadi dua
golongan, yaitu skala verbal dan skala performansi.
Tabel 1. Subtes dalam WISC-R versi 1974
Skala Verbal
|
Skala Performansi
|
Information
(informasi)
Comprehension
(pemahaman)
Arithmetic
(hitungan)
Similarities
(kesamaan)
Vocabulary (kosakata)
Digit Span (rentang angka
|
Picture
completion (kelengkapan gambar)
Picture
arrangement (susunan gambar)
Block
design (rancangan balok)
Object
assembly (perakitan objek)
Coding (sandi)
Mazes
|
Subtes Rentang Angka merupakan subtes pelengkap yang
hanya dipergunakan apabila salah satu diantara subtes verbal lainnya, karena
sesuatu hal semisal kekeliruan pemakaian, tidak dapat digunakan. Subtes mazes
dapat digunakan sebagai pengganti subtes Sandi atau dapat pula digunakan
sebagai pengganti subtes performansi manapun yang tidak dapat dipakai. Dengan
demikian, skor subjek tetap didasarkan atas lima subtes dari skala verbal dan lima subtes dari skala performansi.
Keunikan dari WISC-R adalah urutan penyajian
subtesnya. Tidak seperti WAIS ataupun versi WISC terdahulu yang urutannya
selalu penyajian semua subtes verbal kemudian diikuti semua subtes performansi,
penyajian subtes dalam WISC-R dilakukan berganti-ganti antara satu subtes
verbal dan satusubtes performansi. [13]
Ø Teori
Multiple Intelligences
Dari
berbagai hasil penelitian maka ada berbagai jenis kecerdasan lain selain
kecerdasan intelektual (IQ) yang digunakan oleh manusia untuk mencapai puncak
prestasi. Menurut Gardner[14]
kemampuan kecerdasan dapat ditingkatkan dan dimanfaatkan jika dapat dibina dan
dipelihara dalam lingkungan yang tepat. Kecerdasan itu disebutnya dengan
istilah Multiple intelligence (kecerdasan ganda). Secara rinci akan
dijelaskan sebagai berikut :
1. Spatial
; kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan
transformasi persepsi tersebut.
2. Logical-Mathematical
; kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan bilangan serta
kemapuan untuk berfikir rasional.
3. Linguistic
; kepekaan terhadap suara , ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi
bahasa.
4. Musical
; kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme, nada dan
bentuk-bentuk ekspresi music.
5. Bodily
Kinesthetic ; kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan mengenai objek-objek
secara terampil.
6. Interpersonal
; kemampuan untuk mengamati dan merespons suasana hati, temperamen, dan
motivasi orang lain.
7. Intrapersonal
; kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi.[15]
8. Keahlian
naturalis, kemampuan untuk mengamati pola-pola di alam dan memahami sistem alam
dan sistem buatan manusia ( petani, ahli botani, ahli ekologi, ahli tanah).
Gardner
percaya bahwa masing-masing bentuk intelegensi dapat di hancurkan oleh pola
kerusakan otak tertentu, yang masing-masing melibatkan keahlian kognitif yang
unik, dan masing-masing tampak dalam cara unik baik di dalam diri orang
berbakat atau idiot ( individu yang mengalami retardasi mental tetapi punya
bakat hebat dalam domain tertentu, seperti music , melukis atau penghitungan
numeric).[16]
Kecakapan
potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi
indicator-indikatonya. Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek
intelegensi di atas maka pada dasarnya indicator kecerdasan akan mengerucut ke
dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya
sesuai yang diharapkan) dan kemudahan (tanpa mengahadapi hambatan dan kesulitan
yang berarti) dalm bertindak. [17]
Semua
kecerdasan yang dijabarkan di atas adalah merupakan titipan Allah SWT yang
diberikan kepada setiap manusia. Hal ini terungkap dengan jelas dalam
firman-Nya berikut ini:
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (Q.S. At-tin:
4).
Potensi
kecerdasan ini tidak akan bisa produktif kalau tidak diberdayakan secara baik.
Walaupun semua orang tahu bahwa potensi yang diungkap oleh Gardner ini masih
sangat perlu pengembangan dan pendalaman secara berkelanjutan. Sinergisitas
kecerdasan ganda dengan kecerdasan yang lain seperti kecerdasan intelektual
(IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) adalah merupakan
akumulasi puncak dari prestasi manusia dalam meraih cita-cita dan masa depan
yang cemerlang. Sekarang tinggal lagi bagaimana kita mampu memberdayakan semua
potensi itu sebaik mungkin, karena Allah juga sudah memberikan jaminan kepada
manusia bahwa tidak ada yang sulit jika kita mau melakukannya, karena Allah
tidak pernah membebankan umat di atas batas kemampuannya. [18]
Allah
tidak membebankan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia medapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya…(Q.S. Al-Baqarah: 286).
Adapun teknologi yang
dipakai untuk memanfasilitasi masing-masing area multiple intelligences (Dickinson,2000) sebagai berikut :
1.
Keahlian verbal. Computer membantu murid
untuk merevisi dan menulis ulang komposisi; membantu mereka menghasilkan lebih
banyak lagi paper yang baik. Belajar mengetik ini sama pentingnya dengan
belajar menulis dengan pensil, dan belajar menggunakan program pengolah kata
sama pentingnya dengan belajar mengetik.
2.
Keahlian matematika/logika. Murid bisa
belajar dengan efektif melalui program yang menarik yang memberikan umpan
balik. Program semacam ini menantang murid untuk menggunakan keterampilan
berfikir mereka untuk memecahkan soal matematika.
3.
Keahlian spasial. Computer membuat murid
bisa melihat dan memanipulasi materi. Mereka bisa menciptakan banyak bentuk
yang berbeda sebelum mereka membuat salinan akhir dari tugas. Teknologi
realitas virtual dapat member murid kesempatan untuk meraih keterampilan
spasial visual mereka.
4.
Keahlian tubuh kinestetik. Murid
terutama memerlukan koordinasi tangan-mata untuk mengoperasikan
computer-mengetik keyboard dan menggunakan mouse atau touchscreen. Aktivitas
kinestetik ini membuat murid jadi partisipan aktif dalam proses belajar.
5.
Keahlian music. Perkembangan inteligensi
music dapat diperkuat dengan bantuan teknologi sebagaimana kefasihan verbal
diperkuat melalui program pengolah kata. Musical Instrument Digital Interface
memungkinkan orang untuk membuat dan menata berbagai macam instrument music
melalui computer.
6.
Keahlian interpersonal. Teknologi
memberi kesempatan untuk mengeksplorasi garis pemikiran secara mendalam dan
memberi akses luas untuk banyak minat personal. Murid bisa membuat pilihan dan
mengontrol sendiri perkembangan intelektual dan proses belajarnya.
7.
Keahlian naturalis. Teknologi elektronik
dapat memfasilitasi eksplorasi ilmiah dan aktivitas alam lainnya. Teknologi
telekomunikasi dapat membantu murid memahami dunia di luar lingkungan mereka.
Misalnya, National Geographic Online membuat murid bisa ikut melihat ekspidisi
yang dilakukan penjelajah dan fotografer terkenal.[19]
DAFTAR
PUSTAKA
Santrock
John W. 2004. Psikologi Pendidikan .
Jakarta : Prenadamedia Group.
Suryabrata
Sumadi. 2006. Psikologi Pendidikan .
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Romlah.
2004. Psikologi Pendidikan Kajian
Teoritis dan Aplikatif . Malang : Universitas
Muhammadiyah Malang.
Romlah.
2010. Psikologi Pendidikan. Malang : Universitas
Muhammadiyah Malang.
Yudhawati
Ratna dan Haryanto Dany. 2011. Teori-Teori
Dasar Psikologi Pendidikan . Jakarta :
Prestasi Pustaka.
Romlah, Umi. 2011. Tes Intelegensi dan Pemanfaatannya dalam
Dunia Pendidikan. Jurnal Cendekia.
(
Diakses tanggal 2 Maret 2017 pukul 20.15 WITA. )
Yurnalis.
2016. Motivasi Belajar Sebuah Strategi Mengungkap
Potensi Kecerdasan Intelegensi
dan Emosi
. Jurnal Risalah . Volume 27, No.1 ,
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/risalah/article/view/2511
( Diakses tanggal
2
Maret 2017 pukul 20.17 WITA.)
[1]
Vembrianto,dkk,Op.Cit, hal.25
[2]
Dra. Romlah, M.Ag. , Psikologi Pendidikan
Kajian Teoritis dan Aplikatif ( Malang : Universitas Muhammadiyah Malang ,
2004 ), hlm. 177-178
[3]Sumadi
Suryabrata , Psikologi Pendidikan (
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006 ), hlm. 135
[4]
Dra. Romlah, M.Ag. , Psikologi Pendidikan
Kajian Teoritis dan Aplikatif ( Malang : Universitas Muhammadiyah Malang ,
2004 ) , hlm. 179-182
[5] Romlah ,
Psikologi Pendidikan ( Malang : Universitas Muhammadiyah Malang , 2010 ),
hlm. 143-144
[6]
John W. Santrock , Psikologi Pendidikan
( Jakarta : Prenadamedia Group, 2004 ), hlm. 135-136
[7]
Ibid,.136
[8]
Umi Romlah , “ Tes Intelegensi dan Pemanfaatannya dalam Dunia Pendidikan ˮ, Jurnal Cendekia, Vol.9 No.1 , (Januari –
Juni 2011), hal.131-132
[9]Dra.
Romlah, M.Ag. , Psikologi Pendidikan
Kajian Teoritis dan Aplikatif ( Malang : Universitas Muhammadiyah Malang ,
2004 ), hlm. 187-188
[10]
Ibid.,189
[11]
Sumadi Suryabrata , Psikologi Pendidikan (
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006 ), hlm. 153
[12]
John W. Santrock , Psikologi Pendidikan
( Jakarta : Prenadamedia Group, 2004 ), hlm. 136
[13]
Umi Romlah , “ Tes Intelegensi dan Pemanfaatannya dalam Dunia Pendidikan ˮ, Jurnal Cendekia, Vol.9 No.1 , (Januari –
Juni 2011), hal.132-134
[15] Ratna
Yudhawati & Dany Haryanto,
Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan , (Jakarta : PT Prestasi Pustaka,
2011 ), hlm. 233
[16] John W.
Santrock , Psikologi Pendidikan (Jakarta
: Prenadamedia Group, 2004), hlm. 140
[17] Ratna
Yudhawati & Dany Haryanto,
Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan , (Jakarta : PT Prestasi Pustaka,
2011 ), hlm. 234
[18]
Yurnalis,
“Motivasi Belajar Sebuah Strategi Mengungkap Potensi Kecerdasan Intelegensi dan
Emosiˮ, Jurnal Risalah , Volume 27
No.1 , ( Juni 2016 ), hal.55
[19] John W.
Santrock , Psikologi Pendidikan
(Jakarta : Prenadamedia Group, 2004), hlm. 143
0 komentar:
Posting Komentar