Minggu, 29 Oktober 2017

DASAR - DASAR PENDIDIKAN ISLAM



·         




 DASAR – DASAR PENDIDIKAN ISLAM
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, tentunya pendidikan islam memerlukan landasan kerja untuk memberi arah dan programnya. Sebab dengan adanya dasar yang berfungsi sebagai sumber semua peraturan yang akan diciptakan sebagai pegangan langkah pelaksanaan dan sebagai jalur langkah yang menentukan arah usaha tersebut. Dasar pelaksanaan pendidikan islam terutama adalah adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Untuk negara Indonesia secara formal pendidikan Islam mempunyai dasar/landasan yang cukup kuat. Pancasila yang merupakan dasar setiap tingkah laku dan kegiatan bangsa Indonesia, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, berarti menjamin setiap warga negara untuk memeluk, beribadah, serta menjalankan aktivitas yang berhubungan dengan pengembangan agama, termasuk melaksanakan pendidikan agama. Dengan demikian secara konstitusional Pancasila dengan seluruh sila-silannya  secara total merupakan tiang penegak untuk dilaksanakannya usaha pendidikan, bimbingan/penyuluhan agama (Islam), karena mempersemaikan dan membina ajaran islam mendapat lindungan konstitusional bagi pelaksanaan pendidikan islam. ( UUD 1945, Bab XI ps 29 ayat 1 dan 2 )
Prof. Dr. Moh. Athiyah al-Abrasyi dalam bukunya “ Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam ˮ menegaskan bahwa pendidikan agama adalah untuk mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur.[1]
·         HAKIKAT PENDIDIKAN ISLAM
Memahami pendidikan Islam, terlebih dahulu perlu memahami pengertian pendidikan Islam. Karena dalam pengertian tersebut terkandung beberapa indikator esensial pendidikan. Pengertian pendidikan Islam, salah satunya dapat dengan menggunakan metodologi semantik seperti yang dilakukan oleh Izutsu seperti yang dikutip oleh Abdul Mujib (Abdul Mujib, 2006:9-10). Menurut Izutsu terdapat tiga prosedur untuk menggali hakikat sesuatu termasuk pendidikan dari al-Quran:
1. Memilih istilah-istilah kunci (key terms) dari kosakata al-Quran, yang dianggap sebagai weltanschauung dari al-Quran dan memiliki kandungan arti pendidikan. Seperti tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad dan tadris;
2.  Menentukan makna pokok dan makna kontekstual;
3. Menyimpulkan weltanschauung dengan menyajikan konsep-konsep dalam keutuhan. Kesimpulan dari metode Izutsu ini dapat melahirkan pengertian terminologi atau istilah dalam pendidikan Islam.
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah, tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad dan tadris. Pada dasarnya, dalam beberapa buku pendidikan Islam, semua istilah itu digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam. Semua istilah ini dijadikan para pakar pendidikan Islam untuk mewakili istilah pendidikan Islam. Dalam al-Quran tidak ditemukan kata tarbiyah, namun ditemukan istilah lain yang memiliki kesamaan makna dan seakar dengan kata tarbiyah, yaitu al-rabb, rabbayani, murabbiy, yurbiy dan rabbaniy. Sedangkan dalam hadist hanya ditemukan kata rabbaniy.  Berikut ini merupakan istilah yang populer dipakai dalam pendidikan Islam dalam wacana keislaman populer. Ramayulis (2006:14-15) mengutip beberapa tokoh Islam dalam memahami istilah pendidikan Islam.
1.      Secara terminologi kata tarbiyah menurut Al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa tarbiyah adalah mempersiapkan manusia agar hidup dengan sempurna dan meraih kebahagian, mencintai tanah air, sehat jasmani, berahlakul karimah, cerdas dalam segala bidang, dapat berguna bagi dirinya dan masyarakat dan sopan santun dalam bertutur kata.
2.      Sedangkan ta’lim menurut Rasyid Ridha merupakan proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan dalam jiwa seseorang tanpa ada batas. Pemaknaan ini didasarkan atas Q.S. al-Baqarah {2}: 31 tentang pengajaran (allama) Tuhan kepada nabi Adam as.
3.       Ta’dib menurut al-Attas adalah pengenalan dan pengakuan yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga dapat membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan serta keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya. Hal ini berdasarkan hadist nabi Muhammad Saw.:
Artinya: “Tuhan telah mendidikku, sehingga menjadi baik pendidikanku”.
4.      Menurut al-Bastani riyadhah dalam konteks pendidikan berarti mendidik jiwa anak dengan akhlak yang mulia. pengertian ini dalam tasawuf bermakna latihan rohani dengan cara menyendiri pada hari-hari tertentu untuk melakukan ibadah dan tafakur mengenai hak dan kewajibannya.  Sedangkan menurut Al-Ghazali memahami istilah al-Riyadhah adalah proses pelatihan individu untuk anak-anak. Ini memiliki arti, dalam pendidikan anak lebih ditekankan pada domain psikomotorik dengan cara melatih. Menurutnya, anak kecil yang terbiasa melakukan aktivitas yang positif akan melahirkan kepribadian yang shaleh ketika beranjak dewasa.
Pada saat ini pemakaian istilah yang paling populer yang digunakan orang adalah “tarbiyah” karena istilah ini mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Tarbiyah merupakan usaha untuk mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, sistematis dalam berpikir, memiliki ketajaman intuisi, memiliki jiwa toleransi pada orang lain dan berbudi luhur. Dengan demikian maka istilah pendidikan Islam disebut Tarbiyah Islamiyah.
Definisi-definisi diatas apabila dikaitkan dengan pengertian pendidikan Islam akan kita ketahui bahwa pendidikan Islam lebih merupakan pewaris nilai-nilai keislaman yang mengarah pada keseimbangan dan keserasian perkembangan hidup manusia baik jasmani maupun rohani. Selanjutnya, konseptualisasi tentang pengertian pendidikan Islam ini dapat juga anda perhatikan dari pendapat para tokoh dan pakar pendidikan di bawah ini:
-          Menurut Abdullah Nashih Ulwan (1995:12) pendidikan bukanlah sekedar upaya memanusiakan manusia, dan pendidikan Islam sebagai upaya membina mental, melahirkan generasi, membina umat dan budaya, serta memberlakukan prinsip-prinsip kemuliaan dan peradaban.
-          Sedangkan menurut al-Ghulayaini (Abdul Khalid, 1999:120) mendifinisikan tentang pendidikan Islam sebagai pembentukan ahklak yang mulia pada jiwa anak dan mengarahkannya dengan jalan yang benar dan nasehat, sehingga akan membentuk pribadi pada dirinya akhlak yang mulia dan kebaikan serta cinta beramal untuk kepentingan masyarakat. Dahulu sekitar 600 tahun Sebelum Masehi, orang-orang Yunani telah mengenal pendidikan dan telah menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha untuk membantu manusia menjadi manusia.
-          Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam, Ahmad Tafsir (A.Tafsir, 2006:33) ini menguraikan tentang hakikat pendidikan Islam di tinjau dari dua aspek yaitu; Pertama, ‘membantu’. Hakikat pendidikan membantu seseorang menjadi manusia seutuhnya. Manusia merupakan makhluk yang tidak dapat hidup secara individual, ia membutuhkan bantuan salah satunya adalah pendidikan. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia karena ia memiliki sifat kemanusiaan. Hal ini menunjukan bahwa begitu sulitnya menjadi manusia. Aspek kedua tentang hakikat pendidikan adalah ‘menolong’. Mengapa menolong, bukan untuk mencetak atau mewujudkan. Karena pendidikan hakikatnya adalah menolong manusia menjadi manusia. Pada setiap manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia, sebaliknya ada juga potensi untuk tidak menjadi manusia (memiliki sifat kebinatangan), disinilah peranan pendidikan sangat penting untuk manusia. Kata ‘menolong’ juga mengandung pengertian ke arah yang benar. Pendidikan untuk manusia mengarahkan manusia melakukan perbuatan benar. Karena itulah pendidikan tidak mengenal istilah ‘mendidik untuk berbuat jahat dan berakhlak tercela’. Sebab  ‘perbuatan jahat’ dan ‘akhlak tercela’ itu tidak ada dalam kata menolong. Hal ini bertentangan dengan ajaran al-Quran yang memerintahkan manusia untuk saling tolong menolong. “tolong menolonglah kamu dalam kebaikan.”
-          Menurut Ahmad Supardi (A. Supardi, 1998:3) hakikat pendidikan Islam adalah usaha pendidik muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah peserta didik atas dasar ajaran Islam ke arah terwujudnya pribadi muslim. Pendidikan secara teoritik mengembangkan kemampuan dasar manusia yang mengarahkan kepada perkembangan sesuai dengan ajaran Islam.[2]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai – nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai islam.[3]

·         URGENSI PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN FITRAH MANUSIA
Pendidikan dalam islam harus dapat menumbuh kembangkan seluruh potensi dasar (fitrah) manusia terutama potensi psikis dengan tidak mengabaikan potensi fisiknya. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghazâli yang menyatakan bahwa pendidikan Islam harus dapat mengaktifkan dan mengoptimalkan potensi rohaniah peserta didik dengan tidak mengabaikan potensi jasmaniahnya. Dalam konteks pengembangan potensi inilah, pendidikan Islam harus dapat memenuhi beberapa keinginan, harapan dan kebutuhan anak didik, baik secara rohaniah maupun jasmaniah. Di sisi inilah letak pentingnya pembelajaran dalam pendidikan Islam dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik, yaitu bagaimana menkonstruk pembelajaran pendidikan Islam sesuai dengan keinginan dan kebutuhan potensi dasar anak didik.
Lebih jauh pembelajaran pendidikan Islam berparadigma humanistik- konstruktivistik, yaitu pembelajaran yang menekankan pada pengembangan potensi anak didik sesuai keinginan dan kebutuhannya dalam upaya melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai hamba Allah, pendidikan Islam dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan yang benar dalam melaksanakan ajaran Islam sebuah kebutuhan emosional spiritual. Pada tataran praktis pembelajaran agama Islam dengan menggunakan pendekatan ini menekankan pada pembelajaran kepercayaan/keyakinan yang benar (‘aqîdah), pengamalan ibadah secara istiqâmah (syarî’ah) serta pembiasan etika- moral Islam (akhlâq).
Dalam konteks pembelajaran modern, materi, kurikulum, metode dan evaluasi pendidikan Islam harus ditekankan pada proses pembelajaran afektif melalui penanaman pengetahuan moral (moral knowing) yang dilanjutkan dengan kesadaran moral (moral understanding) dan yang terpenting adalah perilaku moral (moral action). Hal senada juga dikuatkan dengan pendapat Muhammad Abduh yang menekankan pentingnya pengembangan potensi rohaniah di samping jasmaniah dalam proses pendidikan Islam. Periksa Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, tersamping juga tidak dapat dikesampingkan pembelajaran kognitif dan psikomotorik. Sedangkan dalam konteks manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, pendidikan Islam harus dapat menumbuhkembangkan potensi dasar anak didik dalam upayanya melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya. Potensi-potensi itu barangkali dapat mengacu berbagai fitrah yang dimiliki manusia dalam upaya memakmurkan bumi.
 Pada tataran praktis, dalam perspektif di atas pendidikan Islam harus dapat mempersiapkan anak didik dengan berbagai ilmu pengetahuan, keahlian, dan skill untuk dapat mengelola, merawat, mengatur bumi untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Pad sisi inilah letak pentingnya pengembangan potensi pikir manusia dengan melalui pengembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan berbagai keahlian dan profesionalisme sesuai dengan bidangnya masing-masing. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah pengembangan potensi dzikir sebagai aspek aksiologis ilmu pengetahuan.
Secara lebih terperinci, M. Arifin menjelaskan bahwa secara psikis, potensi-potensi manusia yang harus dikembangkan dalam pendidikan Islam berupa: (1) Potensi dasar yang merupakan kemampuan dasar yang dimiliki manusia yang bersifat dinamis dan berkembang secara aktif, (2) Bakat dan kecerdasan yang berupa kemampuan daya kognisi, daya konasi, dan emosi. Dengan mengembangkan kemampuan ini manusia menjadi ahli dan professional dalam bidangnya, (3) Instink (ghârizah), kemampuan untuk berbuat, (4) Intuisi, kemampuan psikologis manusia untuk mengadakan kontak dengan Tuhan, (5) Karakter, yaitu kemampuan psikolgis untuk memiliki moral dan etika dalam interaksinya dengan sesama manusia. Karakter ini berkaitan erat dengan kepribadian seseorang yang terbentuk dari kekuatan dari dalam diri manusia, (6) Nafsu/dorongan yang mempengaruhi motif perbuatan seseorang (7) Keturunan/hereditas, suatu faktor kemampuan dasar manusia psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang tua.
Pengembangan potensi asli sebagaimana di atas juga diungkapkan oleh Conny R. Semiawan yang menegaskan bahwa pendidikan Islam dalam kerangka pengembangan fitrah--harus dilaksanakan dengan berlandaskan nilai-nilai Ilahiyah. Proses pendidikan yang demikian tidak hanya menuntut transfer ilmu pengetahuan dan nilai sikap kepada peserta didik, akan tetapi juga kemampuan pendidik yang professional di bidangnya dengan tidak mengenyampingkan aspek sosio-kultural dimana manusia itu dibesarkan. Untuk itu, proses pendidikan Islam harus mampu mampu menyentuh totalitas potensi yang dimiliki peserta didik yang meliputi pertumbuhan fisik, intelektual, emosional, sosial, moral, dan keimanan Ilahiyah yang merupakan fitrah manusia yang hanîf, sebagai upaya mewujudkan tingkat kematangan optimal dalam totalitas struktur individual peserta didik.[4]


[1] Dra. Zuhairini, dkk. , Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : PT Bumi Aksara  , 2009 ), hlm. 153-155
[2] A. Heris Hermawan, M.Ag. , Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI , 2012 ), hlm. 99 – 102.
[3] Dra. Zuhairini, dkk. , Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : PT Bumi Aksara  , 2009 ), hlm. 152
[4] Mohammad Muchlis Solichin , “ Fitrah ; Konsep dan Pengembangannya dalam Islam ˮ, Jurnal Tadris , Vol. 2 No.2 , (2013), hal. 247-249.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Math Proof Template by Ipietoon Cute Blog Design